SKRIPSI : Pengaruh Kinerja Satpol PP Tehadap Penataan PKL



BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Pedagang Kaki Lima atau yang biasa disebut PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja1 dagangan yang menggunakan gerobak. Saat ini istilah pedagang kaki lima juga digunakan untuk sekumpulan pedagang yang menjual barang dagangannya di tepi-tepi jalan umum, trotoar, yang jauh dari kesan rapi dan bersih. Pengertian dari Pedagang kaki lima itu sendiri adalah orang dengan modal yang relatif kecil berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan, dan dilakukan di tempat-tempat yang dianggap strategis.
Pada umumnya pedagang kaki lima adalah self-employed, yaitu mayoritas pedagang kaki lima hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Keberadaan pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal, sebagai alternatif lapangan pekerjaan bagi kaum urban. Lapangan pekerjaan yang semakin sempit ikut mendukung semakin banyaknya masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang kaki lima.
Pedagang kaki lima biasanya menjajakan dagangannya di tempat-tempat umum yang dianggap strategis, antara lain:
a.       Trotoar, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, trotoar adalah tepi jalan besar yang sedikit lebih tinggi dari pada jalan tersebut, tempat orang berjalan kaki. Pedagang kaki lima biasanya beraktivitas di trotoar, sehingga trotoar bukan lagi sebagai tempat yang nyaman untuk pejalan kaki karena sudah beralih fungsi.
b.      Bahu Jalan, yaitu bagian tepi jalan yang dipergunakan sebagai tempat untuk kendaraan yang mengalami kerusakan berhenti atau digunakan oleh kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran, polisi yang sedang menuju tempat yang memerlukan bantuan kedaruratan dikala jalan sedang mengalami kepadatan yang tinggi. Dari pengertian di atas, fungsi bahu jalan adalah tempat berhenti sementara dan pergerakan pejalan kaki, namun kenyataanya sebagai tepat pedagang kaki lima beraktivitas.
c.       Badan Jalan, yaitu lebar jalan yang dipergunakan untuk pergerakan lalu lintas.
·         Jenis dagangan pedagang kaki lima sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan dimana pedagang itu beraktivitas. Jenis dagangan yang ditawarkan pedagang kaki lima dapat dikelompokkan dalam 4 jenis, yaitu:
a.       Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk di dalamnya makanan mentah, seperti daging, buah-buahan dan sayuran.
b.      Makanan yang siap saji, seperti nasi dan lauk pauk dan minuman.
c.       Barang bukan makanan mulai dari tekstil sampai obat-obatan.
d.      Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas misalnya tukang potong rambut dan sebagainya.
·         Sedangkan bentuk sarana perdagangan yang digunakan pedagang kaki lima dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.       Gerobak/kereta dorong, yang biasanya digunakan oleh pedagang yang berjualan makanan, minuman, atau rokok.
b.      Pikulan/keranjang, bentuk saranan ini digunakan oleh pedagang keliling atau semi permanen. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau berpindah tempat.
c.       Warung semi permanen, yaitu berupa gerobak/kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan meja dan kursi.
d.      Kios, bentuk sarana ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah bilik, yan mana pedagang tersebut juga tinggal di dalamnya.
e.       Gelaran/alas, pedagang menggunakan alas tikar, kain atau sejenisnya untuk menjajakan dagangannya.
Di beberapa kota di Indonesia, keberadaan pedagang kaki lima telah menjadi dilema yang tidak hanya menimbulkan pro-kontra, demonstrasi, bentrok antarwarga maupun antara warga dan aparat.
Berkenaan dengan hal tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan juga mengalami permasalahan atas keberadaan PKL, dimana bila keberadaan PKL tidak diatur dan tidak dibina akan menimbulkan permasalahan dibidang pembangunan, tata ruang maupun gangguan ketertiban umum.
Untuk mensikapi hal ini maka Pemerintah Daerah perlu untuk membuat kebijakan berupa Peraturan Daerah yang mengatur keberadaan PKL. Keberadaan Peraturan Daerah sangatlah penting sebab apabila pemerintah sebagai penguasa dalam menjalankan weweangnya tidak memiliki perangkat hukum yang baik maka dapat terjadi penyalahgunaan wewenang, hal ini selaras dengan pendapat Lord Acton dalam Alfian, yaitu “power tends to corrupt, but absolute power corruptabsolutely“ ( Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan disalah gunakan ).
Keberadaan PKL di wilayah Kabupaten Grobogan menjadi agenda penting Pemerintahan Daerah sebab PKL merupakan salah satu pengusaha sektor informal yang tidak dapat dipisahkan dari kompleksitas pembangunan perkotaan, sebagai sebuah kegiatan yang merupakan kegiatan sektor informal tersebut, memiliki ciri fleksibilitas usaha, dengan modal minimum dan lokasi usaha yang mendekati konsumen, karena cirinya itulah maka usaha di sektor informal ini justru kuat bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi yang terjadi.
Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dilaksanakan penataan PKL secara bijaksana untuk dapat menata sebuah ruang publik yang optimal sehingga dapat menyediakan ruang aktivitas yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas, sehingga ruang publik tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya dimana setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat menikmati dan melakukan aktivitas diatasnya. Wujud nyata dari permasalahan PKL ini  maka Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan membuat Kebijakan Publik berupa Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 9 Tahun 2003 tentang  Pembinaan Dan Penataan Pedagang Kaki Lima.
Namun demikian kehadiran PKL seringkali tidak memperhatikan dampak terhadap kesesuaian tatanan fisik masa dan ruang kota yang telah ada sebelumnya. Sebagai akibatnya adalah munculnya ketidak serasian lingkungan kota, dalam hal ini adalah ruang publik dengan apa fungsi sebenarnya, yang pada akhirnya akan mengurangi nilai terhadap wajah kota pada umumnya dan ruang publik itu sendiri pada khususnya. Hal ini dapat kita jumpai dimana – mana dimana kehadiran PKL akan menimbulkan permasalahan Tata Kota dan  gangguan ketertiban umum.
Di Kecamatan Klambu misalnya, banyak warga yang tidak mengetahui lokasi-lokasi mana saja yang diperuntukan bagi PKL karena banyak PKL yang menempati badan jalan sehingga mengganggu pengguna jalan yang dapat menimbulkan kemacetan. Oleh sebab itu dikeluarkanlah Perda No. 9 tahun 2003 tentang Pengaturan dan Pembinaan PKL dengan harapan adanya Perda tersebut mampu mengatasi permasalahan PKL yang semrawut keberadaannya.
Selanjutnya kalau ditelusuri lebih dalam bahwa terciptanya kinerja Satpol PP Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan yang lebih optimal tak terlepas dari adanya koordinasi yang baik antar berbagai bagian dalam instansi pemerintah itu sendiri dimana koordinasi merupakan bagian yang tak terlepaskan dari sebuah organisasi. Sebagai langkah awal agar koordinasi dalam instansi pemerintahan dalam hal ini adalah Satpol PP Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan berjalan dengan baik maka harus ada kerjasama dan komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan agar setiap pendelegasian pekerjaan tersebut sesuai dengan sasaran yang diinginkan mengingat begitu kompleksnya bimbingan atau penyuluhan yang harus diberikan pada masyarakat sebagai pelanggar maka setiap aparat Satpol PP Kecamatan Klambu meningkatkan kinerjanya sebaik mungkin dengan jalan memanfaatkan sumber daya manusia yang dimilikinya.
Namun kenyataanya yang terjadi didalam kinerja Satpol PP Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan kurang optimal terutama yang berhubungan dengan pelanggaran perda karena banyak PKL yang kurang memahami isi Perda tersebut. Hal ini karena pihak Satpol PP Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan kurang memberikan pengarahan ataupun bimbingan pada PKL. Kondisi ini  menandakan bahwa fungsi Satpol PP sebagai pelaksanaan penegakan Perda kurang berjalan optimal sehingga banyak PKL yang melakukan pelanggaran karena kurang adanya pembinaan dan penataan terhadap PKL.
Hal ini yang mendorong penulis untuk mengkaji dan meneliti masalah Kinerja Satpol PP yang berkaitan dengan Penataan PKL. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini penulis mengupayakan suatu kajian ilmiah dalam judul penelitian sebagai berikut :
“Pengaruh Kinerja Satpol PP Tehadap Penataan PKL di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan”




B.     Ruang Lingkup Masalah
Dalam ruang lingkup permasalahan ini yang dimaksudkan dengan ruang lingkup masalah menurut Prof. Drs. Sutrisno Hadi, MA. Adalah membatasi luasnya dan memberikan formulasi yang tegas terhadap pokok persoalan itu. Satu fenomena sosial muncul dipengaruhi tidak hanya oleh satu faktor saja tetapi dipengaruhi oleh banyak faktor.
Bahwa pada dasarnya Kinerja Satpol PP yang lebih optimal tak terlepas dari adanya koordinasi, komunikasi, kedisiplinan dan pengawasan. Apabila keempat komponen tersebut kurang optimal maka hal ini akan berdampak negatif pada pelaksanaan Penataan PKL .
Beberapa aspek penataan PKL, keberhasilannya dipengaruhi oleh berbagai faktor kinerja Satpol PP diantaranya berupa :
·      Koordinasi
·      Komunikasi
·      Kedisiplinan
·      Pengawasan
Berdasarkan pengamatan dilapangan banyak faktor yang mempengaruhi penataan PKL di Kecamatan Klambu pada khususnya dan di daerah lain pada umumnya, faktor-faktor tersebut antara lain :
·      Sosialisasi
·      Pembinaan
·      Penegakkan Perda
Dalam penelitian ini peneliti membatasi permasalahan sesuai dengan apa yang menjadi pokok permasalahan, hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan pada pokok permasalahan agar tidak menimbulkan keracuan dalam menginterprestasikan masalah yang dibahas  tidak meluas atau bahkan terlepas dari permasalahn pokok yang dijadikan penelitian.





C.    Perumusan Masalah
Perumusan masalah dimaksudkan untuk mengungkapkan pokok-pokok pikiran secara jelas dan sistematis mengenai hakekat dari masalah tersebut. Masalah adalah : “serangkaian atau setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya”.
Untuk itu masalah dapat muncul apabila terjadi kedaan dimana terdapat ketidaksesuaian atau kesenjangan antara apa yang diharapkan dan yang direncanakan dengan apa yang dicapai atau dilaksanakkan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perumusan masalah menurut Moch. Nasir, Ph.D (Metode Penelitian, 1983:80) antara lain :
1.    Masalah biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
2.    Rumusan hendaklah padat dan jelas
3.    Rumusan harus berisi implikasi adanya data untuk memecahkannya
4.    Rumusan Masalah harus merupakan dasar dalam pembentukan hipotesa
5.    Masalah menjadikan dasar judul bagi peneliti

Dari uraian diatas, dirumuskan suatu pertanyaan untuk dikaji dan dibahas yaitu :
Ø Bagaimana pengaruh Kinerja Satpol PP Tehadap Penataan PKL di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan?
D.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui “Pengaruh Kinerja Satpol PP Tehadap Penataan PKL di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan
2. Kegunaan Penelitian
Disamping tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini, penelitian ini juga dapat bermanfaat. Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis adalah :
a)      Kegunaan Teoritis
-          Sebagai sumbangan bagi ilmu pengetahuan.
-          Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
b)      Kegunaan Praktis
-          Memberikan informasi serta masukan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, khususnya bagi lembaga atau instansi pemerintahan.
-          Membantu dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh lembaga pemerintahan (Kecamatan Klambu) dalam usaha penataan PKL di Kecamatan Klambu.

E.     Kerangka Teori
Menurut Snelbecker (dalam Moleong, 2002:34) mendefinisikan teori sebagai seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa keberadaan sebuah teori dalam penelitian sangat penting, karena teori dapat memandu peneliti untuk mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya dalam penelitian tersebut, sekaligus dapat memperoleh pengetahuan tentang hubungan antar variabel yang mengandung fenomena-fenomena yang berkaitan dengan masalah penelitian.
I.       Kinerja
·         Hasibuan dalam bukunya “ Kinerja Managemen SDM ” menyatakan bahwa, ”kinerja adalah suatu hasil yang didapat dari seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu”. (Hasibuan, 2002:105).
·         Dari pengertian tersebut, kinerja dapat pula kita artikan sebagai suatu proses yang diarahkan pada pencapaian hasil yang diinginkan. Adapun proses menunjukkan bagaimana pekerjaan terlaksana.
·         Selanjutnya Husein Umar (2004:76) mengatakan bahwa pengertian kinerja sebagai berikut :
·         “Kinerja adalah keseluruhan kemampuan seseorang untuk bekerja sedemikian rupa sehingga mencapai tujuan kerja secara optimal dan berbagai sasaran yang telah diciptakan dengan pengorbanan rasio kecil dibandingkan yang secara dengan hasil yang dicapai”.
·                      
·         Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat diperoleh gambaran bahwa makna kinerja menunjukan taraf tercapainya hasil setelah melakukan proses usaha yang dilakukan secara sistematis. Kerja yang efektif dapat dilakukan melalui sikap mental yang berpandangan bahwa mutu kerja merupakan aspek yang dikedepankan.
·                     Dalam sebuah organisasi suatu instansi pemerintah peningkatan kinerja Satpol PP sangatlah diperlukan, hal ini dilakukan agar instansi pemerintah mampu mencapai target yang telah ditentukan. Disini peningkatan kinerja Satpol PP tersebut akan berhasil apabila instansi pemerintah tersebut memiliki sumber daya manusia yang benar-benar berkualitas sehingga mampu menjalankan pekerjaan tersebut dengan optimal tapi lain halnya apabila instansi pemerintah tidak memiliki SDM yang berkualitas maka hasil pekerjaan yang dihasilkannya pun tidak optimal.
·                     Berbagai langkah memang harus dilakukan instansi pemerintah agar peningkatan kinerja Satpol PP tersebut bisa terbentuk yaitu dengan adanya hubungan timbal balik yang berupa koordinasi dan komunikasi antara atasan dan bawahan. Maksud dari adanya hubungan timbal balik tersebut nantinya akan menciptakan suasana kerja yang harmonis antara atasan dengan bawahan sehingga apabila terdapat kendala dalam pelaksanaan pekerjaan hal ini cepat segera diatasi dalam hal pemecahannya.
·                     Adapun yang dimaksud koordinasi menurut James. A.F. Stoner adalah proses penyatu paduan sasaran dan kegiatan dari unit-unit yang terpisah (bagian atau bidang fungsional) dari suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. (James. A.F. Stoner, 1988 : 12).
·                     Sedangkan menurut Sutarto, koordinasi dapat diartikan sebagai penyesuaian dari bagian-bagian satu sama yang lain dan gerakan serta pekerjaan bagian-bagian pada saat yang tepat sehingga masing-masing dapat memberikan sumbangan yang maksimal pada hasil secara keseluruhan. (Drs. Sutarto, 1984 : 64)
·                     Selanjutnya koordinasi juga merupakan proses tujuan-tujuan atau kegiatan-kegiatan yang terpisah dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan, karena tanpa organisasi individu yang dipartnerkan akan kehilangan pegangan atas peran mereka dalam organisasi. Mereka hanya mengejar keputusan sendiri yang sering kali merugikan pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. Sebenarnya ada 4 prinsip utama dalam koordinasi menurut Drs. Pamuji.S,MPA (1982:33), yaitu :
1.      Koordinasi harus dimulai dari tahap permulaan sekali.
2.      Koordinasi adalah proses yang kantinyu.
3.      Sepanjang kemungkinan koordinasi harus merupakan pertemuan bersama-sama.
4.      Perbedaan dalam pandangan harus dikemukakansecara terbuka dan diselidiki dalam hubungan dengan situasi seluruhnya.
·                      
·                     Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa koordinasi merupakan suatu proses penyatu paduan kegiatan dari unit-unit yang terpisah dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien dengan memberikan sumbangan yang maksimal pada hasil secara keseluruhan sehingga disini  koordinasi dalam suatu organisasi dalam rangka kebersamaan untuk mencapai tujuan haruslah dilaksanakan secara terus-menerus. Hal ini dilakukan untuk saling mengetahui masalah yang sedang dihadapi bersama agar terhindar dari kerugian sesama tim kerja dalam organisasi tersebut.
·                     Namun dalam pelaksanaanya seringkali terdapat kekurangan dimana kekurangan dalam koordinasi suatu organisasi suatu organisasi akan terlihat pada gejala-gejala sebagai berikut :
1.      Pegawai dalam suatu organisasi menuntut suatu bidang kerja atau wewenang yang masing-masing menganggap termasuk dalam lingkungan tugasnya. Dalam hal ini sering terjadi pemborosan tenaga, waktu dan material.
2.      Pegawai dalam suatu organisasi saling melempar tanggungjawab pada pihak lain karena masing-masing merasa bahwa pekerjaan tersebut tidak termasuk dalam ruanglingkup kerjanya.
3.      Pencapaian tujuan organisasi tidak berjalan secara lancar karena suasana kerja organisasi tampak serba kacau, pegawai tampak ragu dan pelaksanaan pekerjaan ternyata serba salah, saling berbenturan atau bahkan hasil yang saling didasari. (Drs. Sutarto, 1984:127)
·          
Menurut Deddy Mulyana, M.A., Ph.D. (2005:41). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama”, 1communico, 2communicatio, atau 3communicare yang berarti “membuat sama” ( to make common ). Istilah pertama ( communis ) adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Akan tetapi definisi-definisi kontemporer menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada cara berbagai hal-hal tersebut.
Selanjutnya menurut Kartini Kartono, komunikasi adalah arus informasi dan emosi yang terdapat dalam masyarakat baik yang berlangsung secara vertical maupun horizontal dapat berarti pola perhubungan/persambungan wahana. (Kartini Kartono, 1985:33).
Pengertian itu mengandung makna bahwa komunikasi sebagai suatu proses dengan memberikan pengertian-pengertian kepada orang-orang, bermaksud memberikan berita secara simbol, dapat menghubungkan bagian yang satu dengan bagian yang lain, orang yang satu dengan orang yang lain sehingga sering disebut dengan pertukaran informasi. Konsep ini mengandung unsur-unsur berikut ini :
1.      Suatu kegiatan untuk membuat orang mengerti.
2.      Suatu sarana pengliran informasi.
3.      Suatu sistem bagi terjadinya komunikasi antar individu-individu.
Berdasarkan uraian diatas maka koordinasi dan komunikasi berkaitan erat dengan peningkatan kinerja Satpol PP dimana dengan adanya sistem pengaliran informasi antar unit-unit kerja dalam organisasi ini akan membawa dampak positif pada pencapaian tujuan organisasi, artinya tujuan organisasi akan tercapai apabila perusahaan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas yaitu mampu melakukan koordinasi dan komunikasi dalam instansi pemerintahan yang nantinya dapat diaplikasikan dalam setiap pelaksanaan pekerjaan. Bentuk aplikasi tersebut merupakan salah satu contoh dari peningkatan kinerja Satpol PP yang terfokus pada sumber daya manusianya. Namun demikian koordinasi dan komunikasi bukan satu-satunya faktor yang menentukan peningkatan kinerja Satpol PP tapi ada faktor lain yang juga mampu mempengaruhi kinerja pegawai yaitu kedisiplinan dan pengawasan.
Adapun pengertian kedisiplinan adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban. Karena sudah menyatu dengannya, maka sikap atau perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya akan membebani dirinya bilamana ia tidak berbuat sebagaimana lazimnya (Prijodarminto, 1994).
Kedisiplinan dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas / latihan yang dirancang karena dianggap perlu dilaksanakan untuk dapat mencapai sasaran tertentu (Sukadji, 2000). Kedisiplinan merupakan sikap atau perilaku yang menggambarkan kepatuhan kepada suatu aturan atau ketentuan. Kedisiplinan juga berarti suatu tuntutan bagi berlangsungnya kehidupan yang sama, teratur dan tertib,yang dijadikan syarat mutlak bagi berlangsungnya suatu kemajuan dan perubahan- perubahan ke arah yang lebih baik (Budiono, 2006).
Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah menjamin ketertiban dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sehingga semua pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Namun untuk mendapatkan hasil kerja yang optimal dan memuaskan selain koordinasi, komunikasi dan kediplinan juga perlu adanya pengawasan, dimana dalam pengawasan tersebut akan tercipta tindakan prefentif untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam terciptanya kinerja Satpol PP yang optimal.
Selanjutnya George R. Tery (2006:395) mengartikan pengawasan sebagai mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tindakan-tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Siagian (1990:107) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengawasan merupakan suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan tujuan dengan tujuan-tujuan perencanaan,merancang system informasi umpan balik,membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan.
Seperti yang terjadi di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan ini dimana kinerja Satpol PP dalam pembinaan dan penataan PKL didalamnya harus terdapat koordinasi, komunikasi, kedisiplinan dan pengawasan. Hal ini dimaksudkan agar pekerjaan yang telah dibebankan tersebut dapat berjalan dengan optimal sesuai dengan prosedur yang berlaku terutama dalam penegakkan Perda dalam hal pembinaan dan penataan PKL di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan.
II.    Penataan PKL
Pedagang Pedagang Kaki Lima (PKL) telah menjadi fenomena yang lazim terdapat pada kota-kota besar di Indonesia. Pemerintah Daerah sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan untuk mengelola dinamika masyarakat, mempunyai kebijakan yang berbeda-beda dalam menyikapi fenomena tersebut.
Richter JR (1987:139) berpendapat bahwa sosialisasi adalah proses seseorang memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlakukannya agar dapat berfungsi sebagai orang dewasa dan sekaligus sebagai pemeran aktif dalam suatu kedudukan atau peranan tertentu di masyarakat.
Selanjutnya Stewart (1985:93) menyatakan bahwa sosialisasi adalah proses orang memperoleh kepercayaan sikap nilaidan kebiasaan dalam kebudayaan. Melalui proses sosialisasi akan tumbuh satu pribadi yang hak karena sifat-sifat kelompok tidak pernah diserap secara sama oleh masing-masing anggota kelompok.
Secara harfiah sosialisasi bertujuan untuk menyampaikan informasi atas sesuatu kepada masyarakat supaya sesuatu yang disosialisasikan itu bisa diterima dan tidak mendapat reaksi negatif dari masyarakat.
Tapi secara politis kadang sosialisasi bisa berarti pemaksaan kehendak secara terselubung. Dengan dalih untuk kepentingan umum dan sudah disosialisasikan, masyarakat yang sebenarnya menolak dipaksa untuk menerima.
Adapun pengertian Pembinaan adalah suatu usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. (Poerwadarminta, 1987)
Sedangkan Menurut Thoha (1988), Pembinaan adalah suatu proses, hasil atau pertanyaan menjadi lebih baik, dalam hal ini mewujudkan adanya perubahan, kemajuan, peningkatan, pertumbuhan, evaluasi atau berbagai kemungkinan atas sesuatu.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembinaan adalah suatu usaha atau tindakan yang dilakukan secara berdaya guna berhasil guna untuk memperoleh hasil yang mengarah pada perubahan, kemajuan, peningkatan, pertumbuhan, evaluasi atau berbagai kemungkinan atas sesuatu.
Dalam pelaksanaan tugas Penegakan Peraturan Daerah dan kebijakan atau Keputusan Kepala Daerah terhadap PKL, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sering mendapatkan sorotan negatif dari masyarakat dalam melakukan penertiban PKL, bahkan aparat Ssatpol PP dianggap sebagai suatu perbuatan kejahatan ketika ia melakukan penggusuran dan pengrusakan atas hak milik barang dagangan PKL. Hal ini sering kita dengar, padahal disisi lain hak-hak masyarakat perlu kita perhatikan, seperti hak pejalan kaki atau pengguna jalan.
Kondisi diatas perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah setempat yaitu menerapkan kebijakan “pintu tertutup” (jadwal pembagian shif bagi pedagang musiman) guna menekan jumlah PKL dari migrant pedesaan yang setiap musiman seperti libur panjang dan pada bulan ramadhan.


III. Pengaruh Kinerja Satpol PP Terhadap Penataan PKL
Terlepas dari potensi ekonomi sector informal PKL, maraknya keberasaan PKL di kota-kota besar di Indonesia kerap menimbulkan masalah baik bagi pemerintah setempat, para pemilik toko, dan pengguna jalan. Tidak sedikit para pemilik toko dan pengguna jalan merasa terganggu dengan banyaknya keberadaan PKL di trotoar/pinggir jalan.
Sejalan dengan semangat otonomi daerah, setiap pemerintah darah berupaya mengembangkan berbagai strategi atau kebijakan untuk menangani persoalan PKL dari yang mulai bersifat persuasif hingga represif. Pilihan strategi terkait dengan cara pandang pemerintah terhadap PKL. Jika pemerintah melihat PKL sebagai potensi sosial ekonomi yang bisa dikembangkan, maka kebijakan yang dipilih biasanya akan lebih diarahkan untuk melakukan pembinaan dan menata PKL, misalnya memberikan ruang usaha bagi PKL, memformalkan status mereka sehingga bisa memperoleh bantuan kredit bank, dam lainnya. Namun sebaliknya, jika PKL hanya dilihat sebagai pengganggu ketertiban dan keindahan kota, maka mereka akan menjadi sasaran penggusuran dan penertiban yang dilakukan oleh aparat dalam hal ini adalah Satpol PP.
Untuk mengantisipasi hal tersebut diatas maka Pemerintah Daerah mengeluarkan Perda No. 9 Tahun 2003 tentang Pembinaan dan Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dilakukan oleh Satpol PP dengan adanya pembinaan dan penataan PKL diharapkan akan tercipta ketertiban dan keindahan kota tanpa mengganggu pengguna jalan.
Disini dalam pembinaan dan penataan PKL, peran aktif dari Satpol PP sangatlah dibutuhkan mengingat yang mengetahui kondisi di lapangan adalah Satpol PP sehingga ia harus berusaha keras untuk meningkatkan kinerja agar ketertiban, keindahan dan keamanan kota dapat tercapai sesuai dengan harapan. Adapun yang harus dilakukan dalam pembinaan dan penataan PKL adalah Satpol PP harus : (1) Memberikan Penyuluhan, (2) Menanamkan kesadaran dan kepatuhan, (3) Pemberian sanksi atau teguran bagi PKL yang melanggar, (4) melakukan penertiban lokasi PKL yang menempati badan jalan, (5) Memperlakukan zona/wilayah terhadap PKL agar tidak menggangu ketertiban, dan (7) Adanya jaminan keamanan bagi PKL dari para preman yang dapat merugikan dan meresahkan para PKL.
Sejalan dengan uraian diatas, dalam pemjelasan UU. No. 9 Tahun 1999 tentang Usaha Kecil, disebutkan bahwa Usaha kecil (termasuk PKL) merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberika pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya.

F.     Hipotesis
      Hipotesis adalah jawaban sementara atau dugaan yang mempunyai kemungkinan benar atau salah yang dinyatakan berdasarkan pengamatan atas pertimbangan rasional.  
      Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan diatas, maka hipothesa yang penulis ambil yaitu:
a.       Model Verbal
Yaitu hipothesa yang dirumuskan dalam bentuk kalimat-kalimat deklaratif atau kalimat pernyataan: Ada Pengaruh yang Positif antara KInerja Satpol PP terhadap Penataan PKL di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan.
b.      Model Geometrik
Yaitu suatu model hipothesa yang digambarkan melalui suatu model pemetaan pola hubungan suatu variable dengan variable lainnya. Adapun hasil hipothesa geometrik pada penelitian ini sebagai berikut :


 




Maksud dari pemetaan model hipothesa di atas adalah memberikan gambaran/penjelasan bahwa faktor Kinerja Satpol PP (Variabel X) memiliki hubungan atau berpengaruh terhadap Penataan PKL (Variabel Y).

G.    Definisi Konsepsional
Konsep adalah unsur penelitian yang sangat penting dan merupakan definisi yang dipakai oleh peneliti untuk menggambarkan secara abstrak dari suatu fenomena alam. Konsep merupakan generalisasi dari kelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama.
Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interprestasi ganda dari variabel yang diteliti. Untuk mendapatkan balasan yang jelas dari masing-masing konsep yang diteliti, maka dalam hal ini penulis mengemukakan definisi dari konsep yang akan dipergunakan :
a.       Kinerja Satpol PP
Merupakan suatu pola kerja yang dinamis dan kompetitif yang ada dalam Satpol PP dengan harapan agar tercipta keberhasilan pelaksanaan pekerjaan.
b.      Penataan PKL
Merupakan usaha dan upaya pembinaan dan mengatur atau menata Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dilakukan oleh Satpol PP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

H.    Definisi Operasional
Dalam suatu penelitian, keberadaan definisi operasional digunakan untuk membantu peneliti dalam mengoptimalkan konsep-konsep atau menjalankan variabel-variabel baik variabel independen maupun dependen ke dalam indikasi- indikasi sehingga akan membantu dan mempermudah peneliti dalam mencari gejala-gejala dimana variabel yang diukur.
  1.  Variabel (X)
Yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah Kinerja Satpol PP adalah :
a)      Koordinasi, diukur melalui :
-          Tingkat kemampuan pengarahan
-          Tingkat kemampuan kerja sama
b)      Komunikasi, diukur melalui :
-          Tingkat kemampuan penyampaian informasi
-          Tingkat kemampuan penghubung komunikasi dari PKL kepada Satpol PP.
c)      Kedisiplinan, diukur melalui :
-          Tingkat kemampuan Satpol PP dalam menjalankan tugas
-          Tingkat kemampuan  dalam menegakkan peraturan
d)     Pengawasan, diukur melalui :
-          Tingkat kemampuan pemeriksaan
-          Tingkat kemampuan meninjau
  1. Variabel (Y)
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah Penataan PKL, dengan indikator sebagai berikut :
a)      Sosialisasi, diukur melalui :
-          Tingkat kemampuan penggunaan cara pendekatan sosial budaya masyarakat setempat
-          Tingkat kemampuan menanamkan kesadaran dan kepatuhan
b)      Pembinaan, diukur melalui :
-          Tingkat kemampuan memberikan penyuluhan
-          Tingkat kemampuan memberi bimbingan kepada PKL
c)      Penegakkan Perda, diukur melalui :
-          Tingkat kemampuan memberikan sanksi dan teguran
-          Tingkat kemampuan menata dan merelokasi PKL
 I.      Metodologi Penelitian
1.      Tipe Penelitian
Menurut Sutrisno Hadi, pengelompokan tipe penelitian berdasar kepada sifatnya dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :
a)      Penelitian penjajakan (eksploratif)
Merupakan penelitian yang bersifat terbuka, masih mencari-cari dan belum mempunyai hipothesa.
b)      Penelitian penjelasan (eksplanatory)
Merupakan penelitian yang menyoroti hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipothesa yang dirumuskan sebelumnya.
c)      Penelitian deskriptif
Menurut Usman dan Akbar (2004:4) penelitian deskriptif bermaksud membuat penggambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu.
Penelitian berjudul “Pengaruh Kinerja Satpol PP Tehadap Penataan PKL di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan” ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel X (Pengaruh Kinerja Satpol PP) dan Y (Penataan PKL). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian eksplanatory karena bermaksud untuk menjelaskan pengaruh antara variabel penelitian dan menguji hipothesa yang telah dirumuskan sebelumnya.


2.      Populasi dan Sampel Penelitian
a.       Populasi
·         Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi.
·         Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PKL yang ada di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan.
b.      Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dinamakan penelitian sampel apabila kita bermaksud untuk menggeneralisasikan hasil penelitian sampel.
Teknik sampling yang digunakan adalah Sensus karena teknik sensus adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini dilakukan karena jumlah populasi relatif kecil, yaitu seluruh PKL yang berjumlah 43, atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil.
3.      Sumber Data
Untuk menjawab permasalahan maka diperlukan data yang mendukung yang dapat diperoleh dari sumber data. Sumber data dibagi atas dua sumber yaitu :
a.       Data Primer
Adalah sumber-sumber yang memberikan data langsung meliputi responden, yaitu PKL di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan.
b.      Data Sekunder
Yaitu sumber-sumber yang mengutip dari data lain atau tidak langsung yaitu meliputi monografi, dokumentasi maupun bentuk-bentuk yang dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan penelitian.
4.      Teknik Pengumpulan Data
            Dalam pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini maka digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :
a.       Questioner
Teknik pengumpulan data dengan memberikan daftar pertanyaan yang telah disiapkan kemudian diisi responden yaitu PKL di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan.
b.      Dokumentary
Teknik pengumpulan data dengan cara membuat monografi, dokumen dan literature yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
c.       Observasi
Teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan langsung maupun tidak langsung terhadap obyek/gejala yang diamati. Teknik ini Peneliti gunakan untuk memperoleh informasi menyeluruh tentang aktivitas semua personil baik para perangkat desa maupun masyarakat penerima pelayanan yang dilihat dari aspek sikap dan perilaku masing-masing dalam proses kegiatan pelayanan administrasi.


d.      Wawancara
Yaitu teknik pengumpulan data dengan sebuah percakapan antara dua orang atau lebih, yang pertanyaannya diajukan oleh peneliti kepada subjek atau sekelompok subjek penelitian untuk dijawab.
5.      Skala Pengukuran Data
            Tujuan dari skala pengukuran data ini adalah untuk mengukur variable-variabel yang telah dioperasionalkan melalui-melalui indikator, indikator tersebut dijabarkan dalam bentuk-bentuk pertanyaan yang masing-masing pertanyaan mempunyai alternative jawaban sesuai dengan skala pengukuran.
            Adapun macam-macam dari tingkat ukuran tersebut adalah :
a.       Skala Nominal
Dalam ukuran ini tidak ada asumsi tentang jarak maupun urutan antara kategori-kategori dala ukuran itu. Dasar penggolongannya adalah hanya kategori yang tidak tumpang tindih (mutually exlicive).
b.      Skala Ordinal
Tingkat ukuran yang kedua adalah memungkinkan peneliti untuk mengurutkan respondennya dari tingkatan paling rendah ke tingkatan paling tinggi menurut suatu atribut tertentu.
c.       Skala Interval
Yaitu mengurutkan orang atau obyek berdasarkan suatu atribut. Selain itu memberikan informasi tentang interval antara satu orang atau obyek dengan orang atau obyek lainnya. Interval yang sama pada skala interval dipandang mewakili interval atau jarak yang sama pada obyek yang diukur.
d.      Skala Ratio
Suatu bentuk interval yang jaraknya (interval) tidak dinyatakan sebagai perbedaan nilai antara responden dengan nilai antara responden dengan nilai  nol absolute. Karena ada nilai nol maka perbandingan rasio dapat ditentukan.
Penelitian ini berdasarkan pada jawaban yang diberikan responden.
Dalam penelitian ini menggunakan skala ordinal, karena gejala yang diteliti/variable diteliti, yaitu Kinerja Satpol PP, dan Penataan PKL adalah gejala interval.
6.      Teknik Pengolahan dan Analisis Data
a)      Teknik Pengolahan Data
c)      Editing, berupa pengecekan kelengkapan jawaban responden dalam questioner.
d)     Tabulating, yaitu penyusunan dalam bentuk tabel.
e)      Coding, yaitu dengan memmberikan kode atau simbol pada daftar pertanyaan sesuai dengan yang dikehendaki.
b)      Analisis Data
-          Kualitatif dengan lebih memusatkan perhatian pada penggambaran atas data yang ada.
-          Kualitatif dengan data statistik yang telah tersedia sebagai sumber data tambahan dan membantu memberi gambaran tentang kecenderungan subyek pada latar penelitian. Data statistik ini dapat dimanfaatkan sebagai cara yang mengatur dan mengarahkannya pada kejadian dan peristiwa yang ditemukan dan dicari sendiri sesuai dengan tujuan penelitian.
-          Analisis kuantitatif, yaitu dengan menggunakan angka-angka. Dalam analisa kuantitatif ini digunakan alat statistik deskriptif yang membicarakan mengenai penyusunan data dan interprestasinya.
Untuk analisa data kuantitatif, dengan menambah data ordinal dan data interval dengan member skor pada jawaban responden yaitu sebagai berikut :
a)      Untuk jawaban yang paling mendukung diberi skor 4
b)      Untuk jawaban yang mendukung diberi skor 3
c)      Untuk jawaban yang kurang mendukung diberi skor 2
d)     Untuk jawaban yang tidak mendukung diberi skor 1
Dan untuk mengetahui tingkat variable penelitian menggunakan analisa nilai rata-rata prosentase variable penelitian yaitu dengan rumus sebagai berikut :
Atau
S
P x 4 x Q
Dimana :
S    =  Skor yang dicapai                           Q   =  Jumlah responden
P    =  Jumlah item pertanyaan                  4    =  Nilai skor tertinggi

Sedangkan untuk mengukur sejumlah mana pengaruh Kinerja Satpol PP terhadap penataan PKL akan dipakai standar sebagai berikut :
§  75% - 100%                =  Sangat Tinggi
§  50% - 74,99%             =  Tinggi
§  25% - 49,99%             =  Sedang / Cukup
§  0% - 24,99%               =  Rendah / Kurang
7.      Pengujian Hipothesa
            Pengujian hipotesa pada penelitian ini merupakan pengujian terhadap hipotesa yang menyatukan antara dua variabel, adapun hipotesa dalam penelitian ini rumusnya adalah sebagai berikut :
“Ada Pengaruh Positif dan Signifikan antara Pengaruh Kinerja Satpol PP (X) terhadap Penataan PKL (Y)”.
            Pengujian hipothesa pada penelitian ini didasarkan pada  variabel-variabel yang ada yaitu : Kinerja Satpol PP sebagai variabel independen dan Penataan PKL sebagai variabel dependen merupakan gejala ordinal. Dengan demikian rumus yang peneliti gunakan adalah korelasi product moment dengan rumus sebagai berikut :
rxy
=
        N ∑XY – (∑X) (∑Y)
   

[N∑X2 - (∑X) 2] [N∑Y2 – (∑Y)2]






                keterangan :
rXY         : Koefisien korelasi antara X dan Y
∑XY   : Hasil kali antara X dan Y
∑X2     : Hasil  dari X dikuadratkan
∑Y2       : Hasil dari Y dikuadratkan
            Selanjutnya sebagai kriteria untuk menentukan apakah koefisien korelasi product moment signifikan atau tidak dikonsultasikan dengan F tebel product moment dengan N tentu dan tidak dikonsultasikan dengan F tabel product moment dengan N tertentu dan taraf signifikan tertentu (5%). Adapun aturan pengujian hipothesa adalah sebagai berikut :
§  Rhasil > Rtabel 5%    : Signifikan dan ha diterima, ho ditolak.
§  Rhasil < Rtabel 5%    : Tidak Signifikan dan ha diitolak, ho diterima.
                Sedangkan untuk mengetahui koefisien determinasi yaitu sebagai alat statistik untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen dengan dependen, digunakan dengan rumus sebagai berikut : KD = R2 x 100%.

Share This Article
Komentar Anda