NAMA TARI DAN PENCIPTANYA
Farida Oetoyo
Farida
Oetoyo (lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 Juli 1939; umur 72 tahun) adalah seorang
maestro balet Indonesia.Setidaknya dua nomor balet berlabel Rama & Shinta
dan "Gunung Agung Meletus" merupakan karya masterpiece koreografer
Farida Oetoyo. Di samping kedua karya besar ini, masih ada karya lainnya yang
bisa di catat sebagai karya handal monumental. Di antaranya balet "Carmina
Burana", "Putih-Putih" dan "Daun Fulus". "Gunung
Agung Meletus" dan "Rama & Shinta", mendapat sambutan hangat
saat dipentaskan di Teater Terbuka dan Teater Arena Taman Ismail Marzuki tahun
70-an. Tak heran bila angin segar menerpa penggemar balet di Indonesia. Publik
sangat antusias menonton sajian berkualitas. Lima ribu tempat duduk yang
tersedia di Teater Terbuka padat penonton. Bahkan kalangan pers juga mempunyai
andil besar. Menyambut dengan menurunkan berirta dan artikel-artikel menarik
dimedia cetak mereka.Tidaklah berlebihan bila Farida Oetoyo, yang pernah
menjadi primadona di panggung balet dunia disebut sebagai "Maestra
Balet" Indonesia, mengingat ia pernah bergabung dengan "Teater
Bolshoi" di Rusia dan berpentas di sejumlah negara Eropa serta Amerika.
Bahkan hingga sekarang masih aktif mengajar balet di sekolah balet "Sumber
Cipta" miliknya di Ciputat Jakarta Selatan.
Didi
Ninik Thowok
Didik Hadiprayitno, SST (dengan nama
lahir Kwee Tjoen Lian, lalu Kwee Tjoen An) yang lebih dikenal sebagai Didik
Nini Thowok (lahir di Temanggung, Jawa Tengah, 13 November 1954; umur 57 tahun)
adalah penari, koreografer, komedian, pemain pantomim, penyanyi, dan
pengajar.Setelah lulus SMA, impian Didik untuk melanjutkan kuliah di ASTI
Yogyakarta terbentur pada biaya. Didik pun bekerja, tak jauh dari kesukaannya,
menari. Didik menjadi pegawai honorer di Kabin Kebudayaan Kabupaten Temanggung
dengan tugas mengajar tari di beberapa sekolah (SD dan SMP), serta memberi les
privat menari untuk anak-anak di sekitar Temanggung.
Dua tahun setelah lulus SMA, Didik bertekad untuk kuliah di ASTI. Berbekal uang tabungannya, Didik berangkat ke Yogyakarta dan mendaftar di ASTI. Berkat Tari Manipuri, tarian wanita yang diperagakannya dengan begitu cantik, Didik berhasil memikat tim juri ASTI. Sehingga Didik diterima dan dinyatakan sebagai mahasiswa ASTI angkatan 1974.
Pribadinya yang hangat, kocak dan santun tak menyulitkan Didik untuk mendapat teman. Bersama teman-teman barunya, Didik menampilkan fragmen tari berjudul Ande-ande Lumut. Didik berperan sebagai Mbok Rondo Dadapan, janda centil dari Desa Dadapan. Penampilan Didik sangat memukau mahasiswa ASTI yang lain.
Menjadi anak kost sangat sulit bagi Didik, karena tak mungkin mengharapkan kiriman dari rumah. Ketrampilan 'perempuan' yang dulu diajarkan neneknya terasa sangat berguna. Didik menerima pesanan membuat hiasan bordir, juga menjual hasil kerajinannya, seperti syal dan taplak meja.
Beberapa bulan setelah mulai kuliah, Didik menerima tawaran dari kakak angkatannya, Bekti Budi Hastuti (Tutik) untuk membantu dalam fragmen tari Nini Thowok bersama Sunaryo. Nini Thowok atau Nini Thowong adalah semacam permainan jailangkung yang biasa dimainkan masyarakat Jawa tradisional. Pementasan ini sangat sukses. Kesuksesannya membawa trio tersebut pentas diberbagai acara. Merekapun mengemas pertunjukan mereka dengan konsep yang lebih matang. Saat Sunaryo mengundurkan diri, posisinya digantikan Bambang Leksono Setyo Aji, teman sekos Didik. Mereka lantas menyebut kelompok mereka sebagai Bengkel Nini Thowok. Dan di belakang nama mereka melekat nama tambahan Nini Thowok (berarti: "nenek yang menyeramkan"). Setelah itu, karier Didik Nini Thowok sebagai penari terus berlanjut, bahkan Didik sering muncul di televisi.
Didik terus mengembangkan kemampuan tarinya dengan berguru ke mana-mana. Didik berguru langsung pada maestro tari Bali, I Gusti Gde Raka, di Gianyar. Ia juga mempelajari tari klasik Sunda dari Endo Suanda; Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan yang dipelajarinya dari tokoh besar Topeng Cirebon, Ibu Suji. Saat pergi ke Jepang, Didik mempelajari tari klasik Noh (Hagoromo), di Spanyol, ia pun belajar tari Flamenco.
Setelah menyelesaikan studinya dan berhak menyandang gelar Didik Hadiprayitno, SST (Sarjana Seni Tari), Didik ditawari almamaternya, ASTI Yogyakarta untuk mengabdi sebagai staff pengajar. Selain diangkat menjadi dosen di ASTI, ia juga diminta jadi pengajar Tata Rias di Akademi Kesejahteraan Keluarga (AKK) Yogya.
Dua tahun setelah lulus SMA, Didik bertekad untuk kuliah di ASTI. Berbekal uang tabungannya, Didik berangkat ke Yogyakarta dan mendaftar di ASTI. Berkat Tari Manipuri, tarian wanita yang diperagakannya dengan begitu cantik, Didik berhasil memikat tim juri ASTI. Sehingga Didik diterima dan dinyatakan sebagai mahasiswa ASTI angkatan 1974.
Pribadinya yang hangat, kocak dan santun tak menyulitkan Didik untuk mendapat teman. Bersama teman-teman barunya, Didik menampilkan fragmen tari berjudul Ande-ande Lumut. Didik berperan sebagai Mbok Rondo Dadapan, janda centil dari Desa Dadapan. Penampilan Didik sangat memukau mahasiswa ASTI yang lain.
Menjadi anak kost sangat sulit bagi Didik, karena tak mungkin mengharapkan kiriman dari rumah. Ketrampilan 'perempuan' yang dulu diajarkan neneknya terasa sangat berguna. Didik menerima pesanan membuat hiasan bordir, juga menjual hasil kerajinannya, seperti syal dan taplak meja.
Beberapa bulan setelah mulai kuliah, Didik menerima tawaran dari kakak angkatannya, Bekti Budi Hastuti (Tutik) untuk membantu dalam fragmen tari Nini Thowok bersama Sunaryo. Nini Thowok atau Nini Thowong adalah semacam permainan jailangkung yang biasa dimainkan masyarakat Jawa tradisional. Pementasan ini sangat sukses. Kesuksesannya membawa trio tersebut pentas diberbagai acara. Merekapun mengemas pertunjukan mereka dengan konsep yang lebih matang. Saat Sunaryo mengundurkan diri, posisinya digantikan Bambang Leksono Setyo Aji, teman sekos Didik. Mereka lantas menyebut kelompok mereka sebagai Bengkel Nini Thowok. Dan di belakang nama mereka melekat nama tambahan Nini Thowok (berarti: "nenek yang menyeramkan"). Setelah itu, karier Didik Nini Thowok sebagai penari terus berlanjut, bahkan Didik sering muncul di televisi.
Didik terus mengembangkan kemampuan tarinya dengan berguru ke mana-mana. Didik berguru langsung pada maestro tari Bali, I Gusti Gde Raka, di Gianyar. Ia juga mempelajari tari klasik Sunda dari Endo Suanda; Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan yang dipelajarinya dari tokoh besar Topeng Cirebon, Ibu Suji. Saat pergi ke Jepang, Didik mempelajari tari klasik Noh (Hagoromo), di Spanyol, ia pun belajar tari Flamenco.
Setelah menyelesaikan studinya dan berhak menyandang gelar Didik Hadiprayitno, SST (Sarjana Seni Tari), Didik ditawari almamaternya, ASTI Yogyakarta untuk mengabdi sebagai staff pengajar. Selain diangkat menjadi dosen di ASTI, ia juga diminta jadi pengajar Tata Rias di Akademi Kesejahteraan Keluarga (AKK) Yogya.
Sardono Waluyo Kusumo
Sardono Waluyo Kusumo (lahir di Solo, 6 Maret 1945; umur 66 tahun)
adalah seorang penari, koreografer, dan sutradara film asal Indonesia. Ia
adalah salah seorang tokoh tari kontemporer Indonesia.
Sardono pertama kali belajar menari tarian klasik Jawa 'alusan' pada R.T. Kusumo Kesowo (master tari kraton Surakarta). Pada tahun 1961, R.T. Kusumo Kesowo menciptakan sendratari kolosal Ramayana yang dipentaskan di Candi Prambanan. Tari kolosal ini melibatkan 250 penari dengan dua set orkestra gamelan. Sardono diserahi tugas untuk menarikan tokoh Hanoman - meskipun ia terlatih sebagai penari 'alusan' bukan 'gagahan'. Pada awalnya ia kecewa, namun tugas ini memberinya inspirasi untuk mengadaptasi gerakan Hanoman di tari Jawa dengan silat yang ia pelajari sejak umur 8 tahun setelah ia melihat komik Tarzan.
Pada tahun 1968 ia menjadi anggota termuda IKJ pada usia 23 tahun. Pada tahun 1970-an ia mendirikan Sardono Dance Theatre. Sardono pernah mendapatkan penghargaan Prince Claus Awards dari Kerajaan Belanda pada tahun 1997. Sejak 14 Januari 2004 ia adalah Guru Besar Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Sardono pertama kali belajar menari tarian klasik Jawa 'alusan' pada R.T. Kusumo Kesowo (master tari kraton Surakarta). Pada tahun 1961, R.T. Kusumo Kesowo menciptakan sendratari kolosal Ramayana yang dipentaskan di Candi Prambanan. Tari kolosal ini melibatkan 250 penari dengan dua set orkestra gamelan. Sardono diserahi tugas untuk menarikan tokoh Hanoman - meskipun ia terlatih sebagai penari 'alusan' bukan 'gagahan'. Pada awalnya ia kecewa, namun tugas ini memberinya inspirasi untuk mengadaptasi gerakan Hanoman di tari Jawa dengan silat yang ia pelajari sejak umur 8 tahun setelah ia melihat komik Tarzan.
Pada tahun 1968 ia menjadi anggota termuda IKJ pada usia 23 tahun. Pada tahun 1970-an ia mendirikan Sardono Dance Theatre. Sardono pernah mendapatkan penghargaan Prince Claus Awards dari Kerajaan Belanda pada tahun 1997. Sejak 14 Januari 2004 ia adalah Guru Besar Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Tati
Saleh
Raden Siti Hatijah (lebih
dikenal dengan nama Tati Saleh; lahir di Jakarta, 24 Juli 1944 – meninggal di
Bandung, 9 Februari 2006 pada umur 61 tahun) adalah seorang penari jaipongan
asal Indonesia.
Ayahnya, Abdullah Saleh, adalah seorang seniman yang juga berprofesi
sebagai Kepala Kebudayaan Ciamis, sedangkan ibunya adalah pengajar seni tari
dan tembang. Selain ayahnya, Tati Saleh mempelajari seni tari dari R. Enoch
Atmadibrata, Ono Lesmana, serta tokoh tari Sunda, R. Cece Somantri.
Di Konservatori Karawitan (Kokar), ia dan beberapa rekannya menggubah beberapa Seni Ibing Jaipongan seperti Lindeuk Japati, Rineka Sari, Mega Sutra. Pada tahun 1960-an, ia juga, bersama Indrawati Lukman, Irawati Durban, Tien Sapartinah dan Bulantrisna Jelantik, dikenal sebagai penari istana.
Saleh meninggal dunia pada 9 Februari 2006 akibat komplikasi luka lambung, vertigo dan diabetes. Ia meninggalkan suaminya, Maman Sulaeman dan tiga orang anak.
Di Konservatori Karawitan (Kokar), ia dan beberapa rekannya menggubah beberapa Seni Ibing Jaipongan seperti Lindeuk Japati, Rineka Sari, Mega Sutra. Pada tahun 1960-an, ia juga, bersama Indrawati Lukman, Irawati Durban, Tien Sapartinah dan Bulantrisna Jelantik, dikenal sebagai penari istana.
Saleh meninggal dunia pada 9 Februari 2006 akibat komplikasi luka lambung, vertigo dan diabetes. Ia meninggalkan suaminya, Maman Sulaeman dan tiga orang anak.
Tari Pendet
Seperti dikutip dari ISI Denpasar, lahirnya
tari Pendet adalah sebuah ritual sakral
odalan di pura yang disebut mamendet atau mendet. Prosesi mendet berlangsung
setelah pendeta mengumandangkan puja mantranya dan seusai pementasan
topeng sidakarya—teater sakral yang secara filosofis melegitimasi upacara
keagamaan. Hampir
setiap pura besar hingga kecil di Bali disertai dengan aktivitas mamendet.
Pada beberapa pura besar seperti Pura Besakih yang terletak di kaki Gunung
Agung itu biasanya secara khusus menampilkan ritus mamendet dengan tari Baris
Pendet. Tari ini dibawakan secara berpasangan atau secara masal oleh kaum
pria dengan membawakan perlengkapan sesajen dan bunga.
Tari Pendet bercerita tentang turunnya dewi-dewi kahyangan ke bumi. Biasanya menurut gentra.lk.ipb.ac.id, Tari Pendet dibawakan secara berkelompok atau berpasangan oleh para putri, dan lebih dinamis dari tari Rejang. Ditampilkan setelah tari Rejang di halaman Pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih).
Para penari Pendet berdandan layaknya para penari
upacara keagamaan yang sakral lainnya, dengan memakai pakaian upacara,
masing-masing penari membawa perlengkapan sesajian persembahan seperti sangku
(wadah air suci), kendi, cawan, dan yang lainnya.
Pada dasarnya dalam tarian ini
para gadis muda hanya mengikuti gerakan penari perempuan senior yang ada di
depan mereka, yang mengerti tanggung jawab dalam memberikan contoh yang baik.
Tidak memerlukan pelatihan intensif.
Sejarah
Perkembangan.
1950. Tari
Pendet disepakati lahir.
Tari Pendet tetap mengandung anasir sakral-religius
dengan menyertakan muatan-muatan keagamaan yang kental.
Pada 1961, I Wayan Beratha mengolah
kembali tari pendet tersebut dengan pola seperti sekarang, termasuk
menambahkan jumlah penarinya menjadi lima orang. Berselang setahun kemudian,
I Wayan Beratha dan kawan-kawan menciptakan tari pendet massal dengan jumlah
penari tidak kurang dari 800 orang, untuk ditampilkan dalam upacara pembukaan
Asian Games di Jakarta.
1967. Koreografer bentuk modern Tari Pendet.
Pencipta atau koreografer bentuk modern tari Pendet
ini adalah I Wayan Rindi (?-1967),
merupakan penari yang dikenal luas sebagai penekun seni tari dengan kemampuan
menggubah tari dan melestarikan seni tari Bali melalui pembelajaran pada
generasi penerusnya. Semasa hidupnya ia aktif mengajarkan beragam tari Bali,
termasuk tari Pendet kepada keturunan keluarganya maupun di luar lingkungan
keluarganya.
|
Tari Kecak biasanya disebut
sebagai tari "Cak" atau tari api (Fire Dance) merupakan tari
pertunjukan masal atau hiburan dan cendrung sebagai sendratari yaitu seni
drama dan tari karena seluruhnya menggambarkan seni peran dari "Lakon
Pewayangan" seperti Rama Sita dan tidak secara khusus digunakan dalam
ritual agama hindu seperti pemujaan, odalan dan upacara lainnya.
Bentuk - bentuk "Sakral" dalam tari kecak ini biasanya ditunjukan dalam hal kerauhan atau masolah yaitu kekebalan secara gaib sehingga tidak terbakar oleh api. Keunikan. Tidak seperti tari bali lainnya menggunakan gamelan sebagai musik pengiring tetapi dalam pementasan tari kecak ini hanya memadukan seni dari suara - suara mulut atau teriakan - teriakan seperti "cak cak ke cak cak ke" sehingga tari ini disebut tari kecak.
Ditambahkan oleh TariKecak.com, Tarian Kecak ini bisa ditemukan di beberapa
tempat di Bali, tapi yang di Uluwatu adalah yang paling menarik untuk
ditonton karena atraksinya bersamaan dengan sunset atau matahari tenggelam.
Menurut Wikipedia, kecak diciptakan pada tahun 1930-an oleh Wayan Limbak yang bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak memopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya. Selain kisah Ramayana, ada beberapa judul dan tema kecak yang sering dipentaskan seperti : - Kecak Subali dan Sugriwa, diciptakan pada tahun 1976. - Kecak Dewa Ruci, diciptakan pada tahun 1982. Keduanya merupakan hasil karya dari Bapak I Wayan Dibia. |
Kadek Suardana
Lahir di Banjar Tainsiat, Denpasar,
Bali, 1956. Menyelesaikan pendidikan di Konservatori Musik Tradisional (KOKAR)
dan kemudian melanjutkan belajar di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) namun
tidak tamat. Hijrah ke Jakarta mendalami pengetahuan tentang produksi teater.
Sekembalinya ke Bali, ia mendirikan Grup Teater kontemporer Sanggar Putih”
(1980-1990), yang mementaskan karya-karya Shakespeare, Macbeth, dalam berbagai
versi.
Menjadi komposer dan menulis dramaturgi untuk Australian
based The One Extra Company’s production Dancing Demons (1990) berdasarkan
cerita Ramayana. Menjadi komposer Goetenberg Opera Ballet (Swedia) untuk
pementasan karya Bima (1996). Tahun 1998 ia ikut mengarap soundtrack untuk
drama televisi Api Cinta Antonio Blanco
produkis Jatayu Cakraawala Film, yang berhasil meraih piala Vidia di Festival
Sinetron Indonesia 1998.
Sri Tanjung : The Scent Of Innocence (2009)
|
Tahun 1998, mendirikan Yayasan
Arti Denpasar bersama Gde Aryantha Soethama, Dewa Gede Palguna dan Ulf Gadd.
Di bawah pimpinannya, Yayasan Arti Denpasar telah memproduksi berbagai
pementasan tari yang yang didasarkan pada seni tradisional seperti Gambuh
Macbeth (1998) Ritus Legong (2002), Tajen
I ( 2002) dan Tajen II (2006). Juga aktif
memberikan pengetahuan tentang tari Bali di beberapa organisasi kebudayaan di
Tokyo dan Kanagawa, Jepang.
|
Dikenal
sebagai penyelenggaraan Festival Seni Perdamaian di Taman Budaya Denpasar.
Melalui FSP, Kadek hendak membuktikan sekaligus memberi pengaruh bahwa
keberagaman itu indah, keberagaman bisa saja muncul dari dunia kesenian, namun
tak akan membuat dunia hancur.
Pada
8 Maret 2009, bersama Mari Nabeshima menggarap drama tari Sri Tanjung : The Scent of
Innocence, di TIM. Kemampuan dan keahlian seniman ini tidak diragukan
lagi, Puluhan karya seni tari dan musik modern berhasil diciptakannya namun
tetap memegang teguh nilai-nilai tradisi dalam kesenian Bali.