Legenda Terjadinya Bledug Kuwu
Cerita ini disadur dari buku Legenda Terjadinya Bledug Kuwu, penulisnya tak diketahui. Buku ini diberi kata pengantar oleh H. Mulyono, U.S., Bupati Grobogan saat buku itu dicetak (1995). Selamat membaca!
Berdirinya Kerajaan Medang Kamolan.
Konon tanah jawa ini pernah dikuasai oleh kerajaan Galuh, dipimpin oleh Prabu Sindulaya Sang Hyang Prabu Watu Gunung, yang berhasil mengangkat nama Galuh menjadi termasyhur dan rakyatnya hidup makmur. Pusat pemerintahannya di daerah Jawa Barat.
Prabu Watu Gunung dikaruniai 4 orang anak : Dyah Ayu Dewi (menjadi ratu di Nusatembini), Pangeran Adipati Dewata Cengkar, Dewata Pemunah Sakti (menjadi adipati di Madura), dan yang terakhir adalah Pangeran Adipati Dewata Agung (yang menjadi adipati di Pulau Bali).
Menurut cerita, rakyat Galuh tidak senang terhadap putra kedua, yaitu Pangeran Adipati Dewata Cengkar. Tingkah lakunya yang kasar terhadap rakyat kecil, suka menganiaya orang, ditambah hobinya berpesta pora, makin menambah kebencian rakyat. Satu hal lagi, pangeran tergila-gila makan daging manusia. Hal ini menjadikan hidup rakyat Galuh yang tadinya tenteram, menjadi gelisah dan takut. Akhirnya, sebagian rakyat mulai mengungsi untuk mencari perlindungan.
Perubahan keadaan rakyat ini ternyata tercium oleh sang prabu. Setelah beliau mengetahui bahwa putranyalah penyebab keresahan rakyat sedemikian rupa, maka dengan sangat marah sang paduka memanggil anaknya. Beliau sangat malu dan tercoreng mukanya. Karena emosi, beliau mengumpat dengan kasar dan memerintahkan agar Dewata Cengkar segera merubah sikapnya, kalau tidak harus pergi meninggalkan istana.
Dewata Cengkar tak berkata apa-apa, hatinya sakit mendengar kata-kata ayahnya, ia lalu bangkit dan meninggalkan istana tanpa pamit, sambil memandang ayahnya seolah-olah menantang.
Dalam waktu beberapa hari, Dewata Cengkar berhasil menghimpun beberapa prajurit istana yang masih setia padanya untuk ikut meninggalkan kerajaan Galuh. Dengan sembunyi-sembunyi, mereka menuju timur. Dalam waktu beberapa hari, mereka tiba di suatu tempat di pegunungan Kendeng, yang berhadapan dengan Teluk Lusi. Melihat lokasi yang bagus dan strategis ini, Dewata Cengkar lalu membangun satu bangunan sebagai istananya, lalu mengangkat dirinya menjadi raja dengan sebutan Prabu Dewata Cengkar.
Untuk membantu urusan pemerintahan, diangkatlah Aryo Tengger menjadi patih dan Rudo Pekso menjadi tumenggung. Kerajaan mereka dinamakan Medang Kamolan.
Semakin hari semakin makmur dan termasyhurlah kerajaan ini. Seiring waktu, rasa dendam Dewata Cengkar kepada ayahnya pun lenyap sudah, kalau saja tidak termakan rayuan Aryo Tenggger dan Rudo Pekso. Amarah itu tersulut kembali. Sang prabu sendiri lalu menghimpun kekuatan untuk menyerbu Galuh.
Saat itu kerajaan Galuh tidak dalam kondisi siap perang. Sejak kejadian rakyat banyak yang mengungsi dan kemudian diiukuti rakyat lain dan tidak ada yang mau kembali lagi, Galuh menjadi kosong dan kekuatan prajuritnya semakin lemah. Ini membuat sang Prabu Watu Gunung menjadi murung. Pada keadaan seperti itulah sang prabu mendengar ada serbuan dari kerajaan lain yang ternyata dipimpin oleh anak kandung yang diusirnya dulu, beliau murka.
”Dasar Dewata Cengkar tak tahu diri. Kerajaan Galuh ini nantinya akan kuwariskan kepadanya, akan menjadi miliknya, tapi bukan dengan cara seperti ini.”
Prabu Watu Gunung tak kuasa melawan nafsu Dewata Cengkar, setelah memperingatkan anaknya, beliau mesti rela mati dihantam gada Dewata Cengkar.
”Mampus kau keparat!” teriak Dewata Cengkar. Bersama pukulan itu, timbul cahaya yang sangat menyilaukan. Prabu Watu Gunung pun menghilang, bersama kerajaan dan rakyat Galuhnya, lalu berubah menjadi hutan belantara. Dari dalam hutan, terdengar suara Watu Gunung mengutuk putranya: ”Dewata Cengkar, semua sudah terlanjur. Dengan sifat-sifatmu yang seperti binatang itu, nantinya akan menjadi kenyataan.”
Dewata Cengkar sempat was-was mendengarnya, takut menjadi kenyataan. Namun Aryo Tengger dan Rudo Pekso segera mengalihkan perasaan sang prabu dengan menyanjungnya atas kemenangan ini. Prajurit bersorak sorai pulang ke Medang Kamolan. Mereka merencanakan pesta pora.
Rakyat bersiap-siap menyambut kedatangan para prajurit dan rajanya dari medan perang. Umbul-umbul berwarna-warni dipasang di sepanjang jalan, rumah-rumah dihias. Para wanita bertugas menyiapkan makanan. Penari-penari bersiap untuk manggung.
Di dapur, saking bersemangatnya, seorang wanita terpotong jari kelingkingnya. Dia segera berlari ke kamar untuk mengambil obat, tapi alangkah kagetnya ia ketika kembali ke dapur, kelingkingnya sudah tidak ada, ikut teriris-iris dan masuk ke dalam panci masakan. Tidak mungkin baginya mencari kelingkingnya diantara daging yang sudah masak semua.
Pesta berlangsung sangat meriah. Sang prabu mengundang semua rakyat untuk memakan semua hidangan. Penari-penari bekerja semalam suntuk untuk menghibur sang prabu dan prajurit-prajuritnya.
Setelah pesta usai, sang prabu memanggil Aryo Tengger, sang patih.
”Tih..patih..coba kamu kesini sebentar..”
”Daulat paduka, ada apa gerangan, apakah patih diperlukan?”
”Ya ya ya..sini cepat, dengarkan kata-kataku, tapi jangan salah paham dulu. Ini penting,dan sifatnya rahasia.”
”Baik paduka, patih akan merahasiakan.”
”Sekarang aku tanya kepadamu, daging apa yang paling kamu senangi?”
”Daging sapi paduka.”
”Bodoh Patih...daging paling enak itu ya daging manusia. Semasa di kerajaan Galuh aku sering makan daging manusia, sampai aku dimarahi dan diusir ayahku. Setelah disini, aku tak pernah lagi akan daging manusia sampai aku hampir lupa rasanya, seandainya tidak merasakannya saat pesta tadi.”
“Apakah ada daging manusia dihidangkan paduka?”
”Ada, tapi tidak sengaja. Mungkin ada juru masak jarinya terpotong lalu tercampur bersama makanan.”
”Gila, mampus nanti dia kalau tertangkap.”
”Jangan ganggu dia, justru dengan jari kelingking itu gairahku bertambah hidup. Nantinya ada pekerjaan baru buatmu, Tih.”
”Pekerjaan apa paduka?’
”Mulai besok kamu harus dapat memperoleh korban manusia yang dagingnya dimasak untukku.”
Patih Aryo Tengger bak tersambar petir mendengarnya. Tapi mau tak mau ia harus melaksanakannya. Awal yang tak disengaja itu akhirnya menjadi bencana bagi rakyat Medang Kamolan. Korban pertama, patih mengambil narapidana dari penjara, sampai akhirnya seluruh isi penjara habis. Lalu beralih mencari pemuda desa. Banyak pemuda yang keluar malam hari menghilang secara misterius.
Namun, serapat-rapat orang menyimpan bangkai akhirnya tercium juga. Rakyat akhirnya lari meninggalkan kerajaan. Patih mulai bingung mencari korban, apalagi akhir-akhir ini sang prabu mulai minta yang aneh-aneh. Karena biasanya mendapat pemuda, kali ini sang prabu minta daging wanita muda. Patih bingung karena tak ada lagi wanita muda yang masih tinggal disana. Semua telah pergi. Sampai akhirnya terdengar kabar bahwa di rumah Kaki Grenteng masih hidup seorang gadis muda yang bisa dijadikan korban. Patih memerintahkan seluruh anak buahnya untuk mengepung rumah Kaki Grenteng.
***
Ajisaka dan Buaya Putih
Tak disebutkan darimana asal Ajisaka. Tapi dia adalah seorang ilmuwan yang bermaksud akan menyebarkan agama ke Medang Kamolan, ditemani dua temannya, Dora dan Sembada.
Dengan menggunakan perahu mereka menuju negeri yang makmur itu, hingga tiba di tempat pemberhentian pertama, Nusa Majedi, yang sekarang bernama Bawean. Dari situ Ajisaka menyiapkan peralatan dan perbekalan. Dia memutuskan akan melanjutkan perjalanan bersama Dora, sedangkan Sembada ditugaskan tinggal di Nusa Majedi untuk sementara waktu, sambil menjaga barang-barang mereka. Keris pusaka ditinggalkannya bersama Sembada dengan pesan agar tidak memberikannya kepada siapapun, kecuali Ajisaka sendiri yang meminta. Sembada menerima tugas tersebut dengan patuh dan ikhlas.
Melewati samudera, gunung dan hutan belantarra, Sembada dan Dora mulai memasuki Medang Kamolan. Namun betapa terkejutnya mereka ketika bertemu rombongan penduduk Medang Kamolan yang bergegas keluar perbatasan. Para penduduk enggan menjawab ketika ditanya, malah terlihat takut, seakan-akan diancam dari belakang. Kecurigaan mereka makin bertambah ketika melewati beberapa desa yang kosong tak berpenghuni. Kalaupun ada, tinggal orang-orang lanjut usia.
Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang asri berhalaman luas. Mereka mengetuk pintu dan disambut dengan penuh curiga oleh Kaki Grenteng, sang pemilik rumah. Setelah mengetahui bahwa mereka hanyalah orang asing, Kaki Grenteng mempersilakan mereka masuk. Singkat cerita, mereka menjadi paham mengapa rakyat pada mengungsi keluar.
Kaki Grenteng lalu menceritakan kekuatirannya karena di rumahnya terdapat seorang gadis bernama Roro Cangkek. Pasti saat ini dia sedang diburu patih Aryo Tengger untuk menjadi santapan sang prabu.
Puas mendengar cerita dan menyantap makanan dan minuman yang dihidangkan, Ajisaka minta ijin untuk buang hajat. Saat menuju ke belakang, dia berpapasan dengan Roro Cangkek yang juga sangat kaget dan malu melihatnya karena sebagian pakaiannya terbuka. Roro Cangkek lalu lari ke dalam kamar, sedangkan Ajisaka yang masih tak habis pikir melihat ada bidadari di kampung terpencil seperti ini, lalu menyelesaikan urusannya.
Ternyata, saat Ajisaka membuang hajat itu, datang seekor ayam jago yang sedang kehausan, lalu meminum air seninya. Tak disangka, ayam jago itu lalu bersikap aneh, melonjak-lonjak kegirangan dan berkokok seperti ayam betina yang akan bertelur. Roro Cangkek yang mellihat keanehan tersebut lalu mendekati ayam jago itu, menggendongnya, membelainya dan membawanya ke lumbung padi.
Saat itu pula, ternyata pasukan patih Aryo Tengger telah mengepung rumah kaki Grenteng. Ia diperintahkan untuk segera menyerahkan Roro Cangkek. Akhirnya, dengan paksa mereka menggotong Roro Cangkek dari kamarnya. Kaki Grenteng dan istrinya yang sudah tua tak bisa berbuat apa-apa, mereka pingsan dipukuli oleh anak buah patih, sementara Ajisaka dan Dora didorong ke sudut agar menjauh namun tak disakiti karena mereka orang asing.
Roro Cangkek berteriak dengan memilukan. Ajisaka lalu menghadang para punggawa yang membawa Roro Cangkek, lalu mengatakan bahwa wanita itu mengidap suatu penyakit berbahaya yang sangat menular, bahkan dari hembusan nafasnya. Ajisaka lalu menawarkan dirinya sebagai pengganti Roro Cangkek untuk menjadi korban sang prabu.
Roro Cangkek memeluk kaki Ajisaka, tapi akhirnya Ajisaka pergi juga. Roro Cangkek hatinya hancur.
Menghadap prabu Dewata Cengkar, Ajisaka dan Dora terlibat percakapan serius sebelum akhirnya hidup mereka berakhir menjadi santapan sang prabu. Sang prabu rupanya bersedia memenuhi 1 permintaan terakhir Ajisaka sebelum beliau memakannya. Ajisaka hanya minta sepetak tanah di alun-alun Medang Kamolan, seluas sorban di kepalanya. Sang prabu segera memenuhinya. Permintaan kecil, pikirnya.
Dengan disaksikan patih, tumenggung dan seluruh rakyat, Ajisaka membuka sorbannya, memegang ujung utara, dan sang prabu memegang ujung selatan. Mereka mulai mengukur, namun sorban tersebut malah semakin panjang dan panjang, tidak habis-habis gulungannya. Sang prabu mulai kelelahan dan malu dilihat rakyatnya, lalu menyerah kepada Ajisaka. Saat itu posisi beliau sudah di tebing laut yang curam. Beliau bersedia menyerahkan kerajaan asalkan dibiarkan hidup. Rakyat tidak mau, mereka sudah cukup menderita karena perbuatan sang prabu dan meminta Ajisaka segera membunuhnya. Dengan memohon kepada Yang Maha Pencipta, Ajisaka mengibaskan sorbannya. Tubuh Dewata Cengkar terpental hingga ke tengah samudra, hilang dibawa ombak. Setelah itu muncul seekor buaya putih dengan mulut menganga seolah kelaparan. Buaya ini mengutuk Ajisaka dan bersumpah akan memangsa semua keturunannya yang lengah di samudera.
Rakyat menyambut gembira dan mengangkat sang dewa penolong menjadi raja Medang Kamolan. Sang patih dan tumenggung ditangkap rakyat lalu dilemparkan ke samudera agar berkumpul bersama tuannya.
Lahirnya Huruf Jawa dan Bledug Kuwu
Menjadi raja yang disenangi rakyat, memiliki kerajaan yang makmur dan hidup serba berkecukupan, tak menjadikan Ajisaka melupakan sahabatnya Sembada, yang dulu ditinggalkannya di Nusa Majedi. Sang prabu lalu memerintahkan Dora untuk menjemput Sembada, juga keris pusaka yang dititipkannya dulu, untuk senjatanya sebagai raja.
Dora berangkat ke Nusa Majedi, tapi tak berhasil membujuk Sembada untuk ikut dengannya. Sembada masih ingat petuah Ajisaka dulu untuk tidak menyerahkan keris pusaka tersebut kepada siapapun, kecuali Ajisaka sendiri yang mengambilnya.
Mereka lalu terlibat perkelahian sengit, dan keduanya mati.
Sang prabu sangat sedih mendengarnya. Dalam dukanya, ia mulai menulis prasasti untuk mengenang kedua sahabatnya itu, bertuliskan gabungan antara huruf Palawa dan huruf Dewanegari. Huruf-huruf tersebut lalu dikenal dengan huruf Jawa :
Ha Na Ca Ra Ka = Ada utusan
Da Ta Sa Wa La = Saling bertengkar
Pa Da Ja Ya Nya = Sama-sama digdaya
Ma Ga Ba Tha Nga = Sama jadi mayatnya
***
Sementara itu, di rumah Kaki Grenteng.
Ayam jago yang dulu dikurung di gudang jerami kini telah bertelur. Bentuk telurnya berbeda dan tidak juga menetas pada waktunya seperti halnya ayam kampung. Hanya, lumbung padi mereka tidak pernah kosong, selalu terisi penuh. Hal ini membuat Kaki Grenteng dan istrinya curiga, lalu mereka membongkar tumpukan padi itu, dan tiba-tiba mundur ketakutan. Seekor ular berkepala besar muncul, dan dapat berbicara. Dia minta bertemu dengan Roro Cangkek, yang diakunya sebagai ibunya.
Roro Cangkek melihat ada kemiripan antara ular tersebut dengan Ajisaka, ditambah lagi dari penjelasan sang ular bahwa dirinya berasal dari telur seekor ayam jago yang meminum air seni Ajisaka. Sang ular meminta ijin pada ibunda Roro Congkek untuk mencari ayahnya. Oleh Roro Cangkek lalu diarahkan ke kerajaan Medang Kamolan, dimana sang prabu Ajisaka bertahta.
Sang ular pun bergerak menuju arah yang ditunjuk ibunya. Badannya yang demikian besar menyebabkan rumah penduduk dan hutan banyak yang rusak. Rakyat ketakutan. Pengawal istana bersiap siaga, apalagi setelah mendengar ular itu bermaksud ingin bertemu raja.
Prabu Ajisaka tak begitu saja percaya bahwa ular itu adalah anaknya, tetapi setelah mendengar ceritanya, beliau pun sadar bahwa ular itu benar. Tapi, untuk mengujinya, beliau menugaskan sang ular untuk membunuh seekor buaya putih di Samodra Kidul (Laut Selatan), lalu membawa pulang kepalanya. Jalan pulang ke Medang Kamolan harus melewati dasar bumi.
Sang ular melaksanakan tugas tersebut dengan mudahnya. Setelah menelan kepala buaya putih untuk diperlihatkan kepada sang prabu, ia lalu menerobos tebing di pinggir pantai, untuk terus menuju ke timur, ke Medang Kamolan.
Karena tidak yakin arah yang benar, ia naik sebentar ke permukaan, dan tiba di desa Jono, kecamatan Tawangharjo. Hingga saat ini, daerah terebut terkenal dengan penghasil ’bleng’, yaitu sejenis cairan untuk campuran membuat kerupuk, yang dapat diproses menjadi garam dapur.
Kedua kalinya ia muncul ke permukaan yaitu di daerah Crewek, tetapi ternyata perjalanan masih cukup jauh.
Lalu, untuk ketiga kalinya, dengan tak sabar ia memusatkan seluruh kekuatannya untuk mengeluarkan badannya dari dasar bumi. Saking besarnya tubuh sang ular raksasa, sampai mengeluarkan suara BLEDUG...BLEDUG... Ia tiba di desa Kuwu, Kecamatan Grobogan. Tetapi tenaganya sudah habis, dan akhirnya ia lumpuh. Saat itu ia menjelma menjadi seorang anak kecil. Seorang dukun menemukannya dan menyembuhkannya dari penyakit lumpuh. Sang dukun menanyakan asal dan tujuan si anak, tetapi ia tak dapat menjawab. Akhirnya ia dikenal dengan nama Joko Linglung.
***
Begitulah. Sebenarnya masih ada lanjutan cerita si Joko Linglung ini, yaitu sampai dia menemukan ayah ibunya, lalu berakhir di Kesongo, daerah lain yang juga tandus, sebenarnya berpotensi pariwisata, tapi saat ini hanya menarik buat para geologis.