BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Pedagang Kaki Lima atau yang biasa disebut PKL
adalah istilah untuk menyebut penjaja1 dagangan yang menggunakan gerobak. Saat
ini istilah pedagang kaki lima juga digunakan untuk sekumpulan pedagang yang
menjual barang dagangannya di tepi-tepi jalan umum, trotoar, yang jauh dari
kesan rapi dan bersih. Pengertian dari Pedagang kaki lima itu sendiri adalah
orang dengan modal yang relatif kecil berusaha di bidang produksi dan penjualan
barang-barang untuk memenuhi kebutuhan, dan dilakukan di tempat-tempat yang
dianggap strategis.
Pada umumnya pedagang kaki lima
adalah self-employed, yaitu mayoritas pedagang kaki lima hanya terdiri
dari satu tenaga kerja. Keberadaan pedagang kaki lima merupakan salah satu
bentuk usaha sektor informal, sebagai alternatif lapangan pekerjaan bagi kaum
urban. Lapangan pekerjaan yang semakin sempit ikut mendukung semakin banyaknya
masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang kaki lima.
Pedagang kaki lima biasanya
menjajakan dagangannya di tempat-tempat umum yang dianggap strategis, antara
lain:
a.
Trotoar, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, trotoar adalah tepi jalan besar yang sedikit lebih tinggi dari pada
jalan tersebut, tempat orang berjalan kaki. Pedagang kaki lima biasanya
beraktivitas di trotoar, sehingga trotoar bukan lagi sebagai tempat yang nyaman
untuk pejalan kaki karena sudah beralih fungsi.
b.
Bahu Jalan, yaitu bagian tepi jalan yang
dipergunakan sebagai tempat untuk kendaraan yang mengalami kerusakan berhenti
atau digunakan oleh kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran,
polisi yang sedang menuju tempat yang memerlukan bantuan kedaruratan dikala
jalan sedang mengalami kepadatan yang tinggi. Dari pengertian di atas, fungsi
bahu jalan adalah tempat berhenti sementara dan pergerakan pejalan kaki, namun
kenyataanya sebagai tepat pedagang kaki lima beraktivitas.
c.
Badan Jalan, yaitu lebar jalan yang
dipergunakan untuk pergerakan lalu lintas.
·
Jenis dagangan
pedagang kaki lima sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar
kawasan dimana pedagang itu beraktivitas. Jenis dagangan yang ditawarkan
pedagang kaki lima dapat dikelompokkan dalam 4 jenis, yaitu:
a. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk di
dalamnya makanan mentah, seperti daging, buah-buahan dan sayuran.
b. Makanan yang siap saji, seperti nasi dan lauk pauk dan
minuman.
c. Barang bukan makanan mulai dari tekstil sampai
obat-obatan.
d. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas misalnya
tukang potong rambut dan sebagainya.
·
Sedangkan bentuk
sarana perdagangan yang digunakan pedagang kaki lima dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
a. Gerobak/kereta dorong, yang biasanya digunakan oleh
pedagang yang berjualan makanan, minuman, atau rokok.
b. Pikulan/keranjang, bentuk saranan ini digunakan oleh
pedagang keliling atau semi permanen. Bentuk ini dimaksudkan agar barang
dagangan mudah dibawa atau berpindah tempat.
c. Warung semi permanen, yaitu berupa gerobak/kereta
dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan meja
dan kursi.
d. Kios, bentuk sarana ini menggunakan papan-papan yang
diatur sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah bilik, yan mana pedagang
tersebut juga tinggal di dalamnya.
e. Gelaran/alas, pedagang menggunakan alas tikar, kain
atau sejenisnya untuk menjajakan dagangannya.
Di
beberapa kota di Indonesia, keberadaan pedagang kaki lima telah menjadi dilema
yang tidak hanya menimbulkan pro-kontra, demonstrasi, bentrok antarwarga maupun
antara warga dan aparat.
Berkenaan
dengan hal tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan juga mengalami
permasalahan atas keberadaan PKL, dimana bila keberadaan PKL tidak diatur dan
tidak dibina akan menimbulkan permasalahan dibidang pembangunan, tata ruang
maupun gangguan ketertiban umum.
Untuk
mensikapi hal ini maka Pemerintah Daerah perlu untuk membuat kebijakan berupa
Peraturan Daerah yang mengatur keberadaan PKL. Keberadaan Peraturan Daerah
sangatlah penting sebab apabila pemerintah sebagai penguasa dalam menjalankan
weweangnya tidak memiliki perangkat hukum yang baik maka dapat terjadi
penyalahgunaan wewenang, hal ini selaras dengan pendapat Lord Acton dalam Alfian, yaitu “power tends to corrupt,
but absolute power corruptabsolutely“ ( Manusia yang mempunyai kekuasaan
cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak
terbatas (absolut) pasti akan disalah gunakan ).
Keberadaan
PKL di wilayah Kabupaten Grobogan menjadi agenda penting Pemerintahan Daerah
sebab PKL merupakan salah satu pengusaha sektor informal yang tidak dapat
dipisahkan dari kompleksitas pembangunan perkotaan, sebagai sebuah kegiatan
yang merupakan kegiatan sektor informal tersebut, memiliki ciri fleksibilitas
usaha, dengan modal minimum dan lokasi usaha yang mendekati konsumen, karena
cirinya itulah maka usaha di sektor informal ini justru kuat bertahan dalam
menghadapi krisis ekonomi yang terjadi.
Berkaitan
dengan hal tersebut maka perlu dilaksanakan penataan PKL secara bijaksana untuk
dapat menata sebuah ruang publik yang optimal sehingga dapat menyediakan ruang
aktivitas yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas, sehingga ruang
publik tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya dimana setiap orang
mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat menikmati dan melakukan aktivitas
diatasnya. Wujud nyata dari permasalahan PKL ini maka Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan
membuat Kebijakan Publik berupa Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 9
Tahun 2003 tentang Pembinaan Dan
Penataan Pedagang Kaki Lima.
Namun
demikian kehadiran PKL seringkali tidak memperhatikan dampak terhadap
kesesuaian tatanan fisik masa dan ruang kota yang telah ada sebelumnya. Sebagai
akibatnya adalah munculnya ketidak serasian lingkungan kota, dalam hal ini
adalah ruang publik dengan apa fungsi sebenarnya, yang pada akhirnya akan
mengurangi nilai terhadap wajah kota pada umumnya dan ruang publik itu sendiri
pada khususnya. Hal ini dapat kita jumpai dimana – mana dimana kehadiran PKL
akan menimbulkan permasalahan Tata Kota dan
gangguan ketertiban umum.
Di
Kecamatan Klambu misalnya, banyak warga yang tidak mengetahui lokasi-lokasi
mana saja yang diperuntukan bagi PKL karena banyak PKL yang menempati badan
jalan sehingga mengganggu pengguna jalan yang dapat menimbulkan kemacetan. Oleh
sebab itu dikeluarkanlah Perda No. 9 tahun 2003 tentang Pengaturan dan
Pembinaan PKL dengan harapan adanya Perda tersebut mampu mengatasi permasalahan
PKL yang semrawut keberadaannya.
Selanjutnya
kalau ditelusuri lebih dalam bahwa terciptanya kinerja Satpol PP Kecamatan
Klambu Kabupaten Grobogan yang lebih optimal tak terlepas dari adanya
koordinasi yang baik antar berbagai bagian dalam instansi pemerintah itu
sendiri dimana koordinasi merupakan bagian yang tak terlepaskan dari sebuah
organisasi. Sebagai langkah awal agar koordinasi dalam instansi pemerintahan
dalam hal ini adalah Satpol PP Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan berjalan
dengan baik maka harus ada kerjasama dan komunikasi yang baik antara atasan
dengan bawahan agar setiap pendelegasian pekerjaan tersebut sesuai dengan
sasaran yang diinginkan mengingat begitu kompleksnya bimbingan atau penyuluhan
yang harus diberikan pada masyarakat sebagai pelanggar maka setiap aparat
Satpol PP Kecamatan Klambu meningkatkan kinerjanya sebaik mungkin dengan jalan
memanfaatkan sumber daya manusia yang dimilikinya.
Namun
kenyataanya yang terjadi didalam kinerja Satpol PP Kecamatan Klambu Kabupaten
Grobogan kurang optimal terutama yang berhubungan dengan pelanggaran perda
karena banyak PKL yang kurang memahami isi Perda tersebut. Hal ini karena pihak
Satpol PP Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan kurang memberikan pengarahan ataupun
bimbingan pada PKL. Kondisi ini
menandakan bahwa fungsi Satpol PP sebagai pelaksanaan penegakan Perda
kurang berjalan optimal sehingga banyak PKL yang melakukan pelanggaran karena
kurang adanya pembinaan dan penataan terhadap PKL.
Hal ini yang mendorong penulis untuk mengkaji dan
meneliti masalah Kinerja
Satpol PP yang berkaitan dengan Penataan PKL. Oleh sebab itu dalam kesempatan
ini penulis mengupayakan suatu kajian ilmiah dalam judul penelitian sebagai
berikut :
“Pengaruh Kinerja Satpol PP Tehadap Penataan PKL di Kecamatan
Klambu Kabupaten Grobogan”
B.
Ruang Lingkup Masalah
Dalam ruang lingkup permasalahan ini yang dimaksudkan
dengan ruang lingkup masalah menurut Prof. Drs. Sutrisno Hadi, MA. Adalah
membatasi luasnya dan memberikan formulasi yang tegas terhadap pokok persoalan
itu. Satu
fenomena sosial muncul dipengaruhi tidak hanya oleh satu faktor saja tetapi
dipengaruhi oleh banyak faktor.
Bahwa
pada dasarnya Kinerja Satpol PP yang lebih optimal tak terlepas dari adanya
koordinasi, komunikasi, kedisiplinan dan pengawasan. Apabila keempat komponen
tersebut kurang optimal maka hal ini akan berdampak negatif pada pelaksanaan Penataan
PKL .
Beberapa aspek penataan
PKL, keberhasilannya dipengaruhi oleh berbagai faktor kinerja Satpol PP
diantaranya berupa :
· Koordinasi
· Komunikasi
· Pengawasan
Berdasarkan pengamatan dilapangan
banyak faktor yang mempengaruhi penataan PKL di Kecamatan
Klambu pada
khususnya dan di daerah lain pada umumnya, faktor-faktor tersebut antara lain :
· Sosialisasi
· Pembinaan
· Penegakkan Perda
Dalam penelitian ini peneliti membatasi permasalahan
sesuai dengan apa yang menjadi pokok permasalahan, hal ini dimaksudkan untuk
mendekatkan pada pokok permasalahan agar tidak menimbulkan keracuan dalam
menginterprestasikan masalah yang dibahas
tidak meluas atau bahkan terlepas dari permasalahn pokok yang dijadikan
penelitian.
Perumusan masalah dimaksudkan untuk mengungkapkan
pokok-pokok pikiran secara jelas dan sistematis mengenai hakekat dari masalah
tersebut. Masalah
adalah : “serangkaian atau setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk
memecahkannya”.
Untuk itu masalah dapat muncul apabila terjadi kedaan
dimana terdapat ketidaksesuaian atau kesenjangan antara apa yang diharapkan dan
yang direncanakan dengan apa yang dicapai atau dilaksanakkan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perumusan masalah
menurut Moch. Nasir, Ph.D (Metode Penelitian, 1983:80) antara lain :
1.
Masalah biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
2.
Rumusan hendaklah padat dan jelas
3.
Rumusan harus berisi implikasi adanya data untuk
memecahkannya
4.
Rumusan Masalah harus merupakan dasar dalam pembentukan
hipotesa
5.
Masalah menjadikan dasar judul bagi peneliti
Dari uraian diatas, dirumuskan suatu pertanyaan untuk
dikaji dan dibahas yaitu :
Ø Bagaimana pengaruh Kinerja Satpol PP Tehadap Penataan
PKL di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan?
D.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan penelitian
ini adalah untuk mengetahui “Pengaruh Kinerja Satpol PP Tehadap Penataan PKL di Kecamatan Klambu
Kabupaten Grobogan”
2. Kegunaan
Penelitian
Disamping tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian
ini, penelitian ini juga dapat bermanfaat. Adapun manfaat yang ingin dicapai
oleh penulis adalah :
a)
Kegunaan Teoritis
-
Sebagai sumbangan bagi ilmu pengetahuan.
-
Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
b)
Kegunaan Praktis
-
Memberikan informasi serta masukan kepada pihak-pihak
yang membutuhkan, khususnya bagi lembaga atau instansi pemerintahan.
-
Membantu dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh
lembaga pemerintahan (Kecamatan Klambu) dalam usaha penataan PKL di Kecamatan
Klambu.
E.
Kerangka Teori
Menurut Snelbecker
(dalam Moleong, 2002:34) mendefinisikan teori sebagai seperangkat proposisi
yang terintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang
dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan data dasar yang dapat
diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena
yang diamati.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa keberadaan sebuah teori
dalam penelitian sangat penting, karena teori dapat memandu peneliti untuk
mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat
perhatiannya dalam penelitian tersebut, sekaligus dapat memperoleh pengetahuan
tentang hubungan antar variabel yang mengandung fenomena-fenomena yang
berkaitan dengan masalah penelitian.
I.
Kinerja
·
Hasibuan dalam
bukunya “ Kinerja Managemen SDM ” menyatakan bahwa, ”kinerja adalah suatu hasil
yang didapat dari seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu”.
(Hasibuan, 2002:105).
·
Dari pengertian
tersebut, kinerja dapat pula kita artikan sebagai suatu proses yang diarahkan
pada pencapaian hasil yang diinginkan. Adapun proses menunjukkan bagaimana
pekerjaan terlaksana.
·
Selanjutnya
Husein Umar (2004:76) mengatakan bahwa pengertian kinerja sebagai berikut :
·
“Kinerja adalah
keseluruhan kemampuan seseorang untuk bekerja sedemikian rupa sehingga mencapai
tujuan kerja secara optimal dan berbagai sasaran yang telah diciptakan dengan
pengorbanan rasio kecil dibandingkan yang secara dengan hasil yang dicapai”.
·
·
Berdasarkan
pendapat di atas, maka dapat diperoleh gambaran bahwa makna kinerja menunjukan
taraf tercapainya hasil setelah melakukan proses usaha yang dilakukan secara
sistematis. Kerja yang efektif dapat dilakukan melalui sikap mental yang
berpandangan bahwa mutu kerja merupakan aspek yang dikedepankan.
·
Dalam sebuah
organisasi suatu instansi pemerintah peningkatan kinerja Satpol PP sangatlah
diperlukan, hal ini dilakukan agar instansi pemerintah mampu mencapai target
yang telah ditentukan. Disini peningkatan kinerja Satpol PP tersebut akan
berhasil apabila instansi pemerintah tersebut memiliki sumber daya manusia yang
benar-benar berkualitas sehingga mampu menjalankan pekerjaan tersebut dengan
optimal tapi lain halnya apabila instansi pemerintah tidak memiliki SDM yang
berkualitas maka hasil pekerjaan yang dihasilkannya pun tidak optimal.
·
Berbagai langkah
memang harus dilakukan instansi pemerintah agar peningkatan kinerja Satpol PP
tersebut bisa terbentuk yaitu dengan adanya hubungan timbal balik yang berupa
koordinasi dan komunikasi antara atasan dan bawahan. Maksud dari adanya
hubungan timbal balik tersebut nantinya akan menciptakan suasana kerja yang
harmonis antara atasan dengan bawahan sehingga apabila terdapat kendala dalam
pelaksanaan pekerjaan hal ini cepat segera diatasi dalam hal pemecahannya.
·
Adapun yang
dimaksud koordinasi menurut James. A.F. Stoner adalah proses penyatu paduan
sasaran dan kegiatan dari unit-unit yang terpisah (bagian atau bidang
fungsional) dari suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara
efisien. (James. A.F. Stoner, 1988 : 12).
·
Sedangkan menurut
Sutarto, koordinasi dapat diartikan sebagai penyesuaian dari bagian-bagian satu
sama yang lain dan gerakan serta pekerjaan bagian-bagian pada saat yang tepat
sehingga masing-masing dapat memberikan sumbangan yang maksimal pada hasil
secara keseluruhan. (Drs. Sutarto, 1984 : 64)
·
Selanjutnya
koordinasi juga merupakan proses tujuan-tujuan atau kegiatan-kegiatan yang
terpisah dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan, karena tanpa organisasi
individu yang dipartnerkan akan kehilangan pegangan atas peran mereka dalam
organisasi. Mereka hanya mengejar keputusan sendiri yang sering kali merugikan
pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. Sebenarnya ada 4 prinsip utama
dalam koordinasi menurut Drs. Pamuji.S,MPA (1982:33), yaitu :
1.
Koordinasi harus
dimulai dari tahap permulaan sekali.
2.
Koordinasi adalah
proses yang kantinyu.
3.
Sepanjang
kemungkinan koordinasi harus merupakan pertemuan bersama-sama.
4.
Perbedaan dalam
pandangan harus dikemukakansecara terbuka dan diselidiki dalam hubungan dengan
situasi seluruhnya.
·
·
Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa koordinasi merupakan suatu proses penyatu paduan
kegiatan dari unit-unit yang terpisah dalam organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi secara efisien dengan memberikan sumbangan yang maksimal pada hasil
secara keseluruhan sehingga disini
koordinasi dalam suatu organisasi dalam rangka kebersamaan untuk
mencapai tujuan haruslah dilaksanakan secara terus-menerus. Hal ini dilakukan
untuk saling mengetahui masalah yang sedang dihadapi bersama agar terhindar
dari kerugian sesama tim kerja dalam organisasi tersebut.
·
Namun dalam
pelaksanaanya seringkali terdapat kekurangan dimana kekurangan dalam koordinasi
suatu organisasi suatu organisasi akan terlihat pada gejala-gejala sebagai
berikut :
1.
Pegawai dalam
suatu organisasi menuntut suatu bidang kerja atau wewenang yang masing-masing
menganggap termasuk dalam lingkungan tugasnya. Dalam hal ini sering terjadi
pemborosan tenaga, waktu dan material.
2.
Pegawai dalam
suatu organisasi saling melempar tanggungjawab pada pihak lain karena masing-masing
merasa bahwa pekerjaan tersebut tidak termasuk dalam ruanglingkup kerjanya.
3.
Pencapaian tujuan
organisasi tidak berjalan secara lancar karena suasana kerja organisasi tampak
serba kacau, pegawai tampak ragu dan pelaksanaan pekerjaan ternyata serba salah,
saling berbenturan atau bahkan hasil yang saling didasari. (Drs. Sutarto,
1984:127)
·
Menurut Deddy Mulyana, M.A., Ph.D.
(2005:41). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Kata komunikasi atau communication
dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang
berarti “sama”, 1communico, 2communicatio,
atau 3communicare yang berarti “membuat sama” ( to make
common ). Istilah pertama ( communis ) adalah istilah yang paling
sering disebut sebagai asal usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari
kata-kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran,
suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Akan tetapi definisi-definisi
kontemporer menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada cara berbagai hal-hal
tersebut.
Selanjutnya menurut Kartini Kartono,
komunikasi adalah arus informasi dan emosi yang terdapat dalam masyarakat baik
yang berlangsung secara vertical maupun horizontal dapat berarti pola
perhubungan/persambungan wahana. (Kartini Kartono, 1985:33).
Pengertian itu mengandung makna bahwa
komunikasi sebagai suatu proses dengan memberikan pengertian-pengertian kepada
orang-orang, bermaksud memberikan berita secara simbol, dapat menghubungkan
bagian yang satu dengan bagian yang lain, orang yang satu dengan orang yang
lain sehingga sering disebut dengan pertukaran informasi. Konsep ini mengandung
unsur-unsur berikut ini :
1. Suatu kegiatan untuk membuat orang
mengerti.
2. Suatu sarana pengliran informasi.
3.
Suatu
sistem bagi terjadinya komunikasi antar individu-individu.
Berdasarkan uraian diatas maka
koordinasi dan komunikasi berkaitan erat dengan peningkatan kinerja Satpol PP
dimana dengan adanya sistem pengaliran informasi antar unit-unit kerja dalam
organisasi ini akan membawa dampak positif pada pencapaian tujuan organisasi,
artinya tujuan organisasi akan tercapai apabila perusahaan memiliki sumber daya
manusia yang berkualitas yaitu mampu melakukan koordinasi dan komunikasi dalam
instansi pemerintahan yang nantinya dapat diaplikasikan dalam setiap
pelaksanaan pekerjaan. Bentuk aplikasi tersebut merupakan salah satu contoh
dari peningkatan kinerja Satpol PP yang terfokus pada sumber daya manusianya.
Namun demikian koordinasi dan komunikasi bukan satu-satunya faktor yang
menentukan peningkatan kinerja Satpol PP tapi ada faktor lain yang juga mampu
mempengaruhi kinerja pegawai yaitu kedisiplinan dan pengawasan.
Adapun pengertian kedisiplinan adalah
suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian
perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan
dan atau ketertiban. Karena sudah menyatu dengannya, maka sikap atau perbuatan
yang dilakukan bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan sebagai beban,
bahkan sebaliknya akan membebani dirinya bilamana ia tidak berbuat sebagaimana
lazimnya (Prijodarminto, 1994).
Kedisiplinan dapat diartikan sebagai
serangkaian aktivitas / latihan yang dirancang karena dianggap perlu
dilaksanakan untuk dapat mencapai sasaran tertentu (Sukadji, 2000).
Kedisiplinan merupakan sikap atau perilaku yang menggambarkan kepatuhan kepada
suatu aturan atau ketentuan. Kedisiplinan juga berarti suatu tuntutan bagi
berlangsungnya kehidupan yang sama, teratur dan tertib,yang dijadikan syarat
mutlak bagi berlangsungnya suatu kemajuan dan perubahan- perubahan ke arah yang
lebih baik (Budiono, 2006).
Dari pengertian tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa disiplin adalah menjamin ketertiban dalam menjalankan tugas
dan kewajibannya sehingga semua pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Namun untuk mendapatkan hasil kerja yang optimal dan memuaskan
selain koordinasi, komunikasi dan kediplinan juga perlu adanya pengawasan,
dimana dalam pengawasan tersebut akan tercipta tindakan prefentif untuk
mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam terciptanya kinerja Satpol PP yang
optimal.
Selanjutnya George R. Tery (2006:395)
mengartikan pengawasan sebagai mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan,
maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan
tindakan-tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan.
Siagian (1990:107) menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan
seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang
sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan
sebelumnya.
Dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa pengawasan merupakan suatu usaha sistematik untuk menetapkan
standar pelaksanaan tujuan dengan tujuan-tujuan perencanaan,merancang system
informasi umpan balik,membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah
ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan serta
mengambil tindakan koreksi yang diperlukan.
Seperti yang terjadi di Kecamatan
Klambu Kabupaten Grobogan ini dimana kinerja Satpol PP dalam pembinaan dan
penataan PKL didalamnya harus terdapat koordinasi, komunikasi, kedisiplinan dan
pengawasan. Hal ini dimaksudkan agar pekerjaan yang telah dibebankan tersebut
dapat berjalan dengan optimal sesuai dengan prosedur yang berlaku terutama
dalam penegakkan Perda dalam hal pembinaan dan penataan PKL di Kecamatan Klambu
Kabupaten Grobogan.
II. Penataan PKL
Pedagang Pedagang Kaki Lima (PKL)
telah menjadi fenomena yang lazim terdapat pada kota-kota besar di Indonesia.
Pemerintah Daerah sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan untuk mengelola
dinamika masyarakat, mempunyai kebijakan yang berbeda-beda dalam menyikapi
fenomena tersebut.
Richter JR (1987:139) berpendapat
bahwa sosialisasi adalah proses seseorang memperoleh pengetahuan, keterampilan
dan sikap yang diperlakukannya agar dapat berfungsi sebagai orang dewasa dan
sekaligus sebagai pemeran aktif dalam suatu kedudukan atau peranan tertentu di
masyarakat.
Selanjutnya Stewart (1985:93)
menyatakan bahwa sosialisasi adalah proses orang memperoleh kepercayaan sikap
nilaidan kebiasaan dalam kebudayaan. Melalui proses sosialisasi akan tumbuh
satu pribadi yang hak karena sifat-sifat kelompok tidak pernah diserap secara
sama oleh masing-masing anggota kelompok.
Secara harfiah sosialisasi bertujuan untuk
menyampaikan informasi atas sesuatu kepada masyarakat supaya sesuatu yang
disosialisasikan itu bisa diterima dan tidak mendapat reaksi negatif dari
masyarakat.
Tapi secara politis kadang
sosialisasi bisa berarti pemaksaan kehendak secara terselubung. Dengan dalih
untuk kepentingan umum dan sudah disosialisasikan, masyarakat yang sebenarnya
menolak dipaksa untuk menerima.
Adapun pengertian Pembinaan adalah
suatu usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna berhasil
guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. (Poerwadarminta, 1987)
Sedangkan Menurut Thoha (1988),
Pembinaan adalah suatu proses, hasil atau pertanyaan menjadi lebih baik, dalam
hal ini mewujudkan adanya perubahan, kemajuan, peningkatan, pertumbuhan,
evaluasi atau berbagai kemungkinan atas sesuatu.
Dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa pembinaan adalah suatu usaha atau tindakan yang dilakukan
secara berdaya guna berhasil guna untuk memperoleh hasil yang mengarah pada
perubahan, kemajuan, peningkatan, pertumbuhan, evaluasi atau berbagai
kemungkinan atas sesuatu.
Dalam pelaksanaan tugas Penegakan
Peraturan Daerah dan kebijakan atau Keputusan Kepala Daerah terhadap PKL,
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sering mendapatkan sorotan negatif dari
masyarakat dalam melakukan penertiban PKL, bahkan aparat Ssatpol PP dianggap
sebagai suatu perbuatan kejahatan ketika ia melakukan penggusuran dan
pengrusakan atas hak milik barang dagangan PKL. Hal ini sering kita dengar,
padahal disisi lain hak-hak masyarakat perlu kita perhatikan, seperti hak
pejalan kaki atau pengguna jalan.
Kondisi diatas perlu mendapat
perhatian dari Pemerintah Daerah setempat yaitu menerapkan kebijakan “pintu tertutup” (jadwal pembagian shif
bagi pedagang musiman) guna menekan jumlah PKL dari migrant pedesaan yang
setiap musiman seperti libur panjang dan pada bulan ramadhan.
III. Pengaruh Kinerja Satpol PP Terhadap Penataan PKL
Terlepas dari potensi ekonomi sector
informal PKL, maraknya keberasaan PKL di kota-kota besar di Indonesia kerap
menimbulkan masalah baik bagi pemerintah setempat, para pemilik toko, dan
pengguna jalan. Tidak sedikit para pemilik toko dan pengguna jalan merasa
terganggu dengan banyaknya keberadaan PKL di trotoar/pinggir jalan.
Sejalan dengan semangat otonomi
daerah, setiap pemerintah darah berupaya mengembangkan berbagai strategi atau
kebijakan untuk menangani persoalan PKL dari yang mulai bersifat persuasif
hingga represif. Pilihan strategi terkait dengan cara pandang pemerintah
terhadap PKL. Jika pemerintah melihat PKL sebagai potensi sosial ekonomi yang
bisa dikembangkan, maka kebijakan yang dipilih biasanya akan lebih diarahkan
untuk melakukan pembinaan dan menata PKL, misalnya memberikan ruang usaha bagi
PKL, memformalkan status mereka sehingga bisa memperoleh bantuan kredit bank, dam
lainnya. Namun sebaliknya, jika PKL hanya dilihat sebagai pengganggu ketertiban
dan keindahan kota, maka mereka akan menjadi sasaran penggusuran dan penertiban
yang dilakukan oleh aparat dalam hal ini adalah Satpol PP.
Untuk mengantisipasi hal tersebut
diatas maka Pemerintah Daerah mengeluarkan Perda No. 9 Tahun 2003 tentang
Pembinaan dan Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dilakukan oleh Satpol PP
dengan adanya pembinaan dan penataan PKL diharapkan akan tercipta ketertiban
dan keindahan kota tanpa mengganggu pengguna jalan.
Disini dalam pembinaan dan penataan
PKL, peran aktif dari Satpol PP sangatlah dibutuhkan mengingat yang mengetahui
kondisi di lapangan adalah Satpol PP sehingga ia harus berusaha keras untuk
meningkatkan kinerja agar ketertiban, keindahan dan keamanan kota dapat
tercapai sesuai dengan harapan. Adapun yang harus dilakukan dalam pembinaan dan
penataan PKL adalah Satpol PP harus : (1) Memberikan Penyuluhan, (2) Menanamkan
kesadaran dan kepatuhan, (3) Pemberian sanksi atau teguran bagi PKL yang
melanggar, (4) melakukan penertiban lokasi PKL yang menempati badan jalan, (5)
Memperlakukan zona/wilayah terhadap PKL agar tidak menggangu ketertiban, dan
(7) Adanya jaminan keamanan bagi PKL dari para preman yang dapat merugikan dan
meresahkan para PKL.
Sejalan dengan uraian diatas, dalam
pemjelasan UU. No. 9 Tahun 1999 tentang Usaha Kecil, disebutkan bahwa Usaha
kecil (termasuk PKL) merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan
kerja dan memberika pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat
berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta
mendorong pertumbuhan dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada
umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya.
F. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara atau
dugaan yang mempunyai kemungkinan benar atau salah yang dinyatakan berdasarkan
pengamatan atas pertimbangan rasional.
Berdasarkan
rumusan masalah yang telah dijabarkan diatas, maka hipothesa yang penulis ambil yaitu:
a.
Model Verbal
Yaitu hipothesa
yang dirumuskan dalam bentuk kalimat-kalimat deklaratif atau kalimat
pernyataan: Ada Pengaruh yang Positif antara KInerja Satpol PP
terhadap Penataan
PKL di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan.
b.
Model Geometrik
Yaitu suatu
model hipothesa yang digambarkan melalui suatu model pemetaan pola hubungan
suatu variable dengan variable lainnya. Adapun hasil hipothesa geometrik pada
penelitian ini sebagai berikut :
Maksud dari pemetaan model hipothesa di atas adalah
memberikan gambaran/penjelasan bahwa faktor Kinerja Satpol PP (Variabel X)
memiliki hubungan atau berpengaruh terhadap Penataan PKL (Variabel Y).
G. Definisi Konsepsional
Konsep
adalah unsur penelitian yang sangat penting dan merupakan definisi yang dipakai
oleh peneliti untuk menggambarkan secara abstrak dari suatu fenomena alam.
Konsep merupakan generalisasi dari kelompok fenomena tertentu, sehingga dapat
dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama.
Tujuannya
adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interprestasi
ganda dari variabel yang diteliti. Untuk mendapatkan balasan yang jelas dari
masing-masing konsep yang diteliti, maka dalam hal ini penulis mengemukakan
definisi dari konsep yang akan dipergunakan :
a.
Kinerja
Satpol PP
Merupakan suatu pola kerja yang dinamis dan kompetitif yang
ada dalam Satpol PP dengan harapan agar tercipta keberhasilan pelaksanaan
pekerjaan.
b.
Penataan
PKL
Merupakan usaha dan upaya pembinaan dan mengatur atau menata
Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dilakukan oleh Satpol PP sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
H.
Definisi Operasional
Dalam suatu penelitian, keberadaan definisi operasional
digunakan untuk membantu peneliti dalam mengoptimalkan konsep-konsep atau
menjalankan variabel-variabel
baik variabel independen maupun dependen ke dalam indikasi- indikasi
sehingga akan membantu dan mempermudah peneliti dalam mencari gejala-gejala dimana
variabel yang diukur.
- Variabel (X)
Yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah Kinerja Satpol PP adalah :
a)
Koordinasi,
diukur melalui :
-
Tingkat
kemampuan pengarahan
-
Tingkat
kemampuan kerja sama
b)
Komunikasi,
diukur melalui :
-
Tingkat
kemampuan penyampaian informasi
-
Tingkat kemampuan penghubung komunikasi dari PKL kepada Satpol PP.
c)
Kedisiplinan,
diukur melalui :
-
Tingkat kemampuan
Satpol PP dalam menjalankan tugas
-
Tingkat kemampuan dalam menegakkan
peraturan
d)
Pengawasan,
diukur melalui :
-
Tingkat kemampuan
pemeriksaan
-
Tingkat kemampuan
meninjau
- Variabel (Y)
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah
Penataan PKL, dengan
indikator sebagai berikut :
a) Sosialisasi, diukur melalui :
-
Tingkat kemampuan penggunaan cara
pendekatan sosial budaya masyarakat setempat
-
Tingkat
kemampuan menanamkan kesadaran dan kepatuhan
b) Pembinaan, diukur melalui :
-
Tingkat
kemampuan memberikan penyuluhan
-
Tingkat kemampuan memberi bimbingan
kepada PKL
c) Penegakkan Perda, diukur melalui :
-
Tingkat
kemampuan memberikan sanksi dan teguran
-
Tingkat kemampuan menata
dan merelokasi PKL
I.
Metodologi Penelitian
1.
Tipe
Penelitian
Menurut Sutrisno Hadi, pengelompokan tipe penelitian
berdasar kepada sifatnya dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :
a)
Penelitian penjajakan (eksploratif)
Merupakan penelitian yang bersifat terbuka, masih
mencari-cari dan belum mempunyai hipothesa.
b)
Penelitian penjelasan (eksplanatory)
Merupakan penelitian yang menyoroti hubungan antara
variabel-variabel penelitian dan menguji hipothesa yang dirumuskan sebelumnya.
c)
Penelitian deskriptif
Menurut Usman dan
Akbar (2004:4) penelitian deskriptif bermaksud membuat penggambaran secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi
tertentu.
Penelitian berjudul “Pengaruh Kinerja Satpol PP Tehadap Penataan PKL di Kecamatan
Klambu Kabupaten Grobogan” ini terdiri dari dua variabel, yaitu
variabel X (Pengaruh Kinerja
Satpol PP) dan Y (Penataan PKL). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
penelitian eksplanatory karena
bermaksud untuk menjelaskan pengaruh antara variabel penelitian dan menguji
hipothesa yang telah dirumuskan sebelumnya.
2.
Populasi dan Sampel Penelitian
a.
Populasi
·
Populasi adalah
keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen
yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian
populasi.
·
Adapun populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh PKL yang ada di Kecamatan Klambu Kabupaten
Grobogan.
b.
Sampel
Sampel
adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dinamakan penelitian sampel
apabila kita bermaksud untuk menggeneralisasikan hasil penelitian sampel.
Teknik sampling yang
digunakan adalah Sensus karena teknik
sensus adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi
digunakan sebagai sampel. Hal ini dilakukan karena jumlah populasi relatif
kecil, yaitu seluruh PKL yang berjumlah 43, atau penelitian yang ingin membuat
generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil.
3.
Sumber Data
Untuk
menjawab permasalahan maka diperlukan data yang mendukung yang dapat diperoleh
dari sumber data. Sumber data dibagi atas dua sumber yaitu :
a.
Data Primer
Adalah
sumber-sumber yang memberikan data langsung meliputi responden, yaitu PKL di
Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan.
b.
Data Sekunder
Yaitu
sumber-sumber yang mengutip dari data lain atau tidak langsung yaitu meliputi
monografi, dokumentasi maupun bentuk-bentuk yang dapat memberikan informasi
yang berkaitan dengan penelitian.
4.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data yang
diperlukan dalam penelitian ini maka digunakan metode pengumpulan data sebagai
berikut :
a.
Questioner
Teknik
pengumpulan data dengan memberikan daftar pertanyaan yang telah disiapkan
kemudian diisi responden yaitu PKL di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan.
b.
Dokumentary
Teknik
pengumpulan data dengan cara membuat monografi, dokumen dan literature yang ada
hubungannya dengan penelitian ini.
c.
Observasi
Teknik
pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan langsung maupun tidak langsung
terhadap obyek/gejala yang diamati. Teknik ini Peneliti gunakan untuk
memperoleh informasi menyeluruh tentang aktivitas semua personil baik para
perangkat desa maupun masyarakat penerima pelayanan yang dilihat dari aspek
sikap dan perilaku masing-masing dalam proses kegiatan pelayanan administrasi.
d.
Wawancara
Yaitu teknik pengumpulan data dengan sebuah percakapan antara dua orang
atau lebih, yang pertanyaannya diajukan oleh peneliti kepada subjek atau
sekelompok subjek penelitian untuk dijawab.
5.
Skala Pengukuran Data
Tujuan
dari skala pengukuran data ini adalah untuk mengukur variable-variabel yang
telah dioperasionalkan melalui-melalui indikator, indikator tersebut dijabarkan
dalam bentuk-bentuk pertanyaan yang masing-masing pertanyaan mempunyai alternative
jawaban sesuai dengan skala pengukuran.
Adapun
macam-macam dari tingkat ukuran tersebut adalah :
a.
Skala Nominal
Dalam
ukuran ini tidak ada asumsi tentang jarak maupun urutan antara
kategori-kategori dala ukuran itu. Dasar penggolongannya adalah hanya kategori
yang tidak tumpang tindih (mutually exlicive).
b.
Skala Ordinal
Tingkat
ukuran yang kedua adalah memungkinkan peneliti untuk mengurutkan respondennya
dari tingkatan paling rendah ke tingkatan paling tinggi menurut suatu atribut
tertentu.
c.
Skala Interval
Yaitu
mengurutkan orang atau obyek berdasarkan suatu atribut. Selain itu memberikan
informasi tentang interval antara satu orang atau obyek dengan orang atau obyek
lainnya. Interval yang sama pada skala interval dipandang mewakili interval
atau jarak yang sama pada obyek yang diukur.
d.
Skala Ratio
Suatu
bentuk interval yang jaraknya (interval) tidak dinyatakan sebagai perbedaan
nilai antara responden dengan nilai antara responden dengan nilai nol absolute. Karena ada nilai nol maka
perbandingan rasio dapat ditentukan.
Penelitian
ini berdasarkan pada jawaban yang diberikan responden.
Dalam
penelitian ini menggunakan skala ordinal, karena gejala yang diteliti/variable
diteliti, yaitu Kinerja Satpol PP, dan Penataan PKL adalah gejala interval.
6.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
a)
Teknik Pengolahan Data
c)
Editing, berupa pengecekan kelengkapan jawaban responden
dalam questioner.
d)
Tabulating, yaitu penyusunan dalam bentuk tabel.
e)
Coding, yaitu dengan memmberikan kode atau simbol pada
daftar pertanyaan sesuai dengan yang dikehendaki.
b)
Analisis Data
-
Kualitatif dengan lebih memusatkan perhatian pada
penggambaran atas data yang ada.
-
Kualitatif dengan data statistik yang telah tersedia
sebagai sumber data tambahan dan membantu memberi gambaran tentang
kecenderungan subyek pada latar penelitian. Data statistik ini dapat
dimanfaatkan sebagai cara yang mengatur dan mengarahkannya pada kejadian dan
peristiwa yang ditemukan dan dicari sendiri sesuai dengan tujuan penelitian.
-
Analisis kuantitatif, yaitu dengan menggunakan angka-angka.
Dalam analisa kuantitatif ini digunakan
alat statistik deskriptif yang membicarakan mengenai penyusunan data dan
interprestasinya.
Untuk
analisa data kuantitatif, dengan menambah data ordinal dan data interval dengan
member skor pada jawaban responden yaitu sebagai berikut :
a)
Untuk jawaban
yang paling mendukung diberi skor 4
b)
Untuk jawaban
yang mendukung diberi skor 3
c)
Untuk jawaban
yang kurang mendukung diberi skor 2
d)
Untuk jawaban
yang tidak mendukung diberi skor 1
Dan untuk
mengetahui tingkat variable penelitian menggunakan analisa nilai rata-rata
prosentase variable penelitian yaitu dengan rumus sebagai berikut :
Atau
S
|
P x 4 x Q
|
Dimana :
S = Skor yang dicapai Q = Jumlah responden
P = Jumlah item pertanyaan 4 = Nilai skor tertinggi
Sedangkan untuk mengukur sejumlah mana pengaruh Kinerja Satpol PP
terhadap penataan PKL akan
dipakai standar sebagai berikut :
§ 75% - 100% = Sangat Tinggi
§ 50% - 74,99% = Tinggi
§ 25% - 49,99% = Sedang / Cukup
§ 0% - 24,99% = Rendah / Kurang
7.
Pengujian Hipothesa
Pengujian hipotesa pada penelitian
ini merupakan pengujian terhadap hipotesa yang menyatukan antara dua variabel,
adapun hipotesa dalam penelitian ini rumusnya adalah sebagai berikut :
“Ada
Pengaruh Positif dan Signifikan antara Pengaruh Kinerja Satpol PP (X) terhadap Penataan PKL (Y)”.
Pengujian hipothesa pada penelitian
ini didasarkan pada variabel-variabel
yang ada yaitu : Kinerja
Satpol PP sebagai variabel independen dan Penataan PKL sebagai
variabel dependen merupakan gejala ordinal. Dengan demikian rumus yang peneliti
gunakan adalah korelasi product moment dengan rumus sebagai berikut :
rxy
|
=
|
N ∑XY
– (∑X) (∑Y)
|
||
√
|
[N∑X2 - (∑X) 2] [N∑Y2
– (∑Y)2]
|
|||
keterangan :
rXY : Koefisien korelasi antara X dan Y
∑XY : Hasil kali antara X dan Y
∑X2 : Hasil dari X dikuadratkan
∑Y2 : Hasil dari Y dikuadratkan
Selanjutnya
sebagai kriteria untuk menentukan apakah koefisien korelasi product moment
signifikan atau tidak dikonsultasikan dengan F tebel product moment dengan N
tentu dan tidak dikonsultasikan dengan F tabel product moment dengan N tertentu
dan taraf signifikan tertentu (5%). Adapun aturan pengujian hipothesa adalah
sebagai berikut :
§ Rhasil > Rtabel 5% : Signifikan dan ha
diterima, ho ditolak.
§ Rhasil < Rtabel 5% : Tidak Signifikan dan ha
diitolak, ho diterima.
Sedangkan
untuk mengetahui koefisien determinasi yaitu sebagai alat statistik untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen dengan dependen,
digunakan dengan rumus sebagai berikut : KD = R2 x 100%.